Info Center Bidan Ruqiya Hazirotul Qudsiya Alamat: Jalan Lintas Timur Sumatera Puskesmas Mesuji Induk Pematang Panggang Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan Indonesia Situs website https://www.puskesmas-mesuji.blogspot.com

Selasa, 02 November 2010

Caisson Disease


Caisson Disease (CD) dengan nama lain penyakit dekompresi (DCS = Decompression Sickness), penyakit penyelam (diver’s disease), Penyakit Dekompresi (PD), atau the bends merupakan nama yang diberikan untuk kumpulan gejala yang terjadi pada seseorang yang terpapar oleh penurunan (biasanya setelah peningkatan tekanan yang besar terlebih dulu). Setelah Siebe (Inggris, 1873) menciptakan Standard Diving Dress utuk penyelaman dalam, timbul kesulitan baru, yaitu munculnya penyakit aneh yang dikenal sebagai penyakit dekompresi. Dari gejala-gejala yang ringan berupa nyeri otot, sendi, dan tulang, sampai gejala yang sangat berat, berupa kelumpuhan anggota gerak bahkan kematian. Penyakit dekompresi pertama kali dipublikasikan oleh Triger (Perancis, 1845) yang merupakan penyakit yang ditemukan pada pekerja-pekerja caison (ruang yang terbuka bagian bawahnya) yang membuat terowongan di bawah air. Penyakit dekompresi adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh pelepasan dan pengembangan gelembung-gelembung gas dari fase larut dalam darah atau jaringan akibat penurunan tekanan dengan cepat disekitarnya. Tubuh seharusnya beradaptasi terhadap tekanan seiring dengan kenaikan ketinggian yang cepat. Hal ini merupakan masalah dalam penyelaman dan gangguan akibat tekanan udara. 1, 2, 3, 4
DCS diklasifikasikan menjadi dua tipe. Tipe I yang lebih ringan, tidak mengancam nyawa, dan ditandai dengan rasa nyeri pada persendian dan otot-otot serta pembengkakan pada limfonodus. Gejala yang paling umum dari CD adalah nyeri persendian yang awalnya ringan kemudian memberat seiring waktu dan dirasakan terutama bila melakukan gerakan. CD tipe II merupakan masalah serius dan dapat menyebabkan kematian. Manifestasinya bisa berupa gangguan respirasi, sirkulasi, dam biasanya gangguan nervus perifer dan / atau gangguan susunan saraf pusat. Emboli gas pada arteri (Arterial Gas Embolism = AGE) adalah manifestasi DCS tipe II yang paling berbahaya yang terjadi bila ada kenaikan ketinggian. AGE terjadi bila gelembung udara terbentuk di arteri dan mengalir ke otak, jantung, atau paru-paru. Ini akan langsung mengancam nyawa dan dapat terjadi setelah naik dari perairan yang dangkal sekalipun. Bagaimanapun AGE juga dapat terjadi akibat iatrogenik. 3, 5

Caisson DiseaseINSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian Caisson Disease (CD) di Amerika Serikat untuk tipe II (berat) yaitu 2.28 kasus per 10,000 penyelaman. Sementara tipe I (ringan) tidak diketahui karena banyak penyelam yang tidak mencari pengobatan. Resiko lebih besar pada penyelam dengan penyakit asma atau pulmonary blebs. Resiko DCS tipe II meningkat 2.5 kali pada pasien dengan patent foramen ovale. Kematian akibat DCS di angkatan udara dilaporkan sekitar 0.024 per satu juta jam terbang. Angka kejadian insiden dekompresi pada penerbangan masyarakat sipil rata-rata sekitar 35 per tahun, dan kurang dari setengahnya saja yang bermakna. Di tingkat internasional tidak ada data tentang insiden barotrauma di seluruh dunia. 5

ETIOLOGI & FAKTOR RESIKO
Penyakit dekompresi biasanya diakibatkan oleh pembentukan gelembung gas, yang dapat menyebar ke seluruh tubuh, yang menyebabkan berbagai macam gangguan. Suatu gelembung gas yang terbentuk di punggung atau persendian dapat menyebabkan nyeri terlokalisir (the bends). Gelembung gas pada jaringan medulla spinalis atau pada nervus perifer dapat menyebabkan paraestesia, neuropraxia, atau paralisis. Sementara gelembung gas yang terbentuk pada system sirkulasi dapat mengakibatkan emboli gas pada pulmonal atau serebrum. Beberapa macam gas bersifat lebih mudah larut dalam lemak. Nitrogen misalnya, 5 kali lebih larut dalam lemak daripada dalam air. Rata-rata 40-50% cedera akibat DCS (Decompression Sickness) serius mengenai susunan saraf pusat. Mungkin wanita mempunyai resiko yang lebih besar karena memiliki lebih banyak lemak dalam tubuhnya. DCS juga terjadi di daerah ketinggian. Orang-orang yang menyelam di danau suatu gunung atau menggabungkan menyelam kemudian melakukan penerbangan. Faktor lain adalah umur, cedera sebelumnya, konsumsi alkohol, aktifitas, patent foramen ovale, dan lain-lain 2, 5

PATOFISIOLOGI
Bila seseorang menggunakan udara bertekanan tinggi sebagai media pernafasan untuk menyelam, maka semakin dalam dan semakin lama ia menyelam akan semakin banyak gas yang larut dan ditimbun dalam jaringan tubuh sesuai hukum Henry volume gas yang larut dalam suatu cairan sebanding dengan tekanan gas di atas cairan itu. Karena oksigen (O2) dikonsumsi dalam jaringan tubuh, maka yang tinggal adalah Nitrogen (N2) yang merupakan gas lembam (inert, tidak aktif). Seperti kita ketahui tekanan udara di permukaan laut adalah 1 Atmosfer Absolut (ATA) dan setiap kedalaman 10 meter maka tekanan akan betrambah 1 ATA. Jadi bila 1 liter N2 terlarut di dalam tubuh seseorang penyelam pada permukaan, maka pada kedalaman 20 meter (3 ATA) ia akan menyerap 3 liter N2. N2 yang berlebihan ini oleh darah akan didistribusikan ke dalam jaringan-jaringan sesuai dengan kecepatan aliran darah ke jaringan tersebut serta daya gabung jaringan terhadap N2. Jaringan lemak mempunyai daya gabung N2 yang tinggi dan melarutkan banyak N2 daripada jaringan yang lainnya.
Ketika penyelam naik ke permukaan dan tekanan gas turun, terjadi kebalikan dari proses yang memenuhi tubuh dengan N2. Tekanan parsial N2 yang rendah dalam paru-paru selama naik menyebabkan darah melepaskan N2 ke dalam paru-paru. Proses ini berlangsung beberapa jam karena jaringan lambat melepaskan N2 dengan perlahan-lahan, dan tubuh memerlukan 24 jam atau lebih untuk menghilangkan semua N2 yang berlebihan. Jika dekompresi berlangsung terlalu cepat, maka N2 tidak dapat meninggalkan jaringan dengan cepat dan teratur seperti yang dilukiskan di atas. Tekanan yang tiba-tiba menurun tidak cukup untuk mempertahankan kelarutan gas sehingga timbul gelembung, seperti fenomena yang kita lihat bila tutup botol bir dibuka dengan tiba-tiba maka gelembung gas karbondioksida naik ke permukaan botol.
Tiap gerakan pada waktu dekompresi menyebabkan meletusnya dengan singkat gelembung gas terutama bila gerak badan kuat atau intermitten. Seperti bila botol bir dikocok sebelum tutupnya dibuka. Namun gerak badan ringan secara kontinu dapat bermanfaat dalam arti menambah eliminasi gas tanpa menyebabkan terjadinya jumlah gas yang berlebihan, karena mikronuklei gas dikonsumsi. Interval diantara penyelaman yang tidak tepat dapat menyebabkan mendadak timbulnya gejala akut karena redistribusi vaskuler dari gelembung sehingga terjadi gangguan fungsi jantung dan pernafasan.. 3, 6

MANIFESTASI KLINIS
- Timbul saat dekompresi atau dipermukaan (paling lama 24 jam setelah menyelam).
- Mula-mula rasa kaku kemudian rasa nyeri
- Kekuatan otot menurun
- Bengkak kemerahan Peau d’orange
- Banyak pada penyelam ulung dan singkat
- Anggota atas 2-3x lebih banyak dari bawah.
- ⅓ kasus pada bahu kemudian siku, pergelangan tangan, tangan, sendi paha, lutut dan kaki.
- Asimetri
- Kasus ringan, tidak rekompresi, nyeri hilang 3-7 hari. 7

TIPE I
CD tipe I ditandai dengan satu atau beberapa dari gejala berikut :
1) Rasa nyeri ringan yang menetap setelah 10 menit onset (niggles),
2) Pruritus, atau “skin bends” yang menyebabkan rasa gatal atau terbakar pada kulit, dan
3) Ruam pada kulit yang biasanya beraneka warna atau menyerupai marmer atau papular, atau ruam yang menyerupai plak. Pada kasus tertentu yang jarang menyerupai kulit jeruk. 8

Nyeri muskuloskeletal
Nyeri pada anggota gerak adalah manifestasi paling klasik dan lazim dari PD (Penyakit Dekompresi). Komplikasi ini tidak terjadi pada penyelam yang jumlah muatan gasnya tidak bermakna. Bend ini paling sering timbul pada waktu dekompresi atau segera setelah penyelam mencapai permukaan, 95% terjadi dalam waktu 6 jam di permukaan. Namun onset telah dilaporkan 36 jam atau lebih sesudah penyelaman. Gejala pertama dapat berupa perasaan bahwa ada yang tidak beres pada anggota gerak atau tanpa disadari untuk menggerakkannya. Mula-mula timbul rasa tumpul yang khas yang tidak dapat dilokalisasi dengan jelas. Pada jam-jam berikutnya timbul nyeri tertusuk-tusuk atau berdenyut-denyut yang lokasinya dapat ditunjuk dengan tepat oleh penderita, walaupun daerah itu biasanya tidak peka dan pergerakan dari sendi yang terkena tidak menambah rasa sakit kecuali pada kasus-kasus berat. Rasa sakit sering bertambah sesudah 12-24 jam. Kulit yang letaknya berdekatan kadang-kadang kelihatan merah dan bengkak (peau d’ orange) yang berhubungan dengan obstruksi limfatik. Tiap sendi sinovial dapat diserang, kecuali sendi sternoklavikular. Pada penyelaman singkat dengan udara kompresi (bounce diving = penyelaman ulang-alik) lengan diserang dua sampai tiga kali lebih banyak daripada tungkai, dengan bahu yang paling sering terlibat. Bila lebih dari satu tempat terkena maka biasanya ini tidak simetrik. Tanpa pengobatan dengan rekompresi biasanya rasa sakit reda dengan cepat, namun ada yang menghilang perlahan-lahan dalam waktu beberapa hari atau bahkan berminggu-minggu. 3

Komplikasi dekompresi mengenai kulit
 Kulit diserang selama atau sesudah dekompresi. Dikenal dua manifestasi yang berbeda. Tipe pertama adalah pruritus multifokal yang sepintas, mengenai tubuh, pergelangan tangan, dan tangan. Gatal-gatal ini paling sering terjadi sesudah penyelaman di dalam RUBT (Ruang Udara Bertekanan Tinggi), dimana kulit penyelam langsung terpapar terhadap tekanan gas lembam yang tinggi, dibanding dengan penyelaman “basah”. Komplikasi ini biasanya juga terlihat pada penyelaman yang dalam dan singkat. Sindrom ini disebabkan oleh absorbsi gas di dalam kelenjar-kelenjar keringat dan pori-pori kulit, yang pada dekompresi akan menjadi gelembung pada lokasi itu. Ruam seperti pada campak dapat timbul, namun tidak merupakan sequele yang lebih serius dan akan menghilang tanpa pengobatan
 Tipe kedua adalah yang dikenal sebagai PD kutaneus. Sindrom ini mulai dengan gatal-gatal yang dapat keras dan biasanya terbatas pada bagian atas tubuh. Daerah gatal ini mula-mula memerah karena ada vasodilatasi di dalam kulit. Kemudian timbul bintik-bintik seperti jerawat yang disebabkan oleh stasis vaskuler karena obstruksi drainase venous dari kulit oleh gelembung atau vasospasmus oleh pengaruh gelembung. Pada tahap ini nampak lingkaran-lingkaran pucat yang konfluen mengelilingi daerah-daerah kebiruan, yang memutih bila ditekan (cutis marmorata). Rekompresi segera mengurangi rasa gatal, meskipun bila dibiarkan saja maka akan menghilang dengan sendirinya dalam waktu beberapa hari. Walaupun ringan, ganggua ini dapat mendahului CD yang lebih serius sehingga rekompresi dapat dianggap sebagai terapi profilaktik terhadap manifestasi lebih lanjut.
 Bentuk limfatik dari CD diduga disebabkan oleh gelembung-gelembung yang memblokir aliran limfe dan kelenjar limfe. Peau d’ orange biasanya dilihat pada anggota gerak, namun edema dapat juga nampak di dalam kelenjar parotis dan mamma. Gangguan ini tidak serius, namun bila penderita direkompresi untuk manifestasi lain maka edema juga akan surut juga. 3
Manifestasi konstitusional
Malaise, anoreksia, dan rasa letih yang tidak sepadan dengan beratnya aktivitas sebelumnya adalah gejala yang biasa menyertai CD dan bila ini adalah satu-satunya gejala maka tidak dibutuhkan rekompresi. Namun gejala ini harus dianggap sebagai peringatan manifestasi lebih lanjut dapat segera terjadi. 3,5

TIPE II
CD tipe II ditandai oleh :
1) Gejala gangguan pada paru,
2) Syok hipovolemik, atau
3) Gangguan pada sistem saraf. Dari kasus yang dilaporkan hanya ada sekitar 30% yang disertai dengan keluhan nyeri. Tanda dan gejalanya bervariasi karena kompleksnya susunan saraf pusat dan perifer. Onset gejala biasanya segera atau hingga 36 jam. 8

CD kardiopulmoner (Chokes)
Pada beberapa kasus CD berat yang jarang terjadi (2%) sejumlah besar gelenung gas dapat terbentuk dalam darah biasanya segera setelah dekompresi berat dan mendadak, seperti misalnya karena panik penyelam naik dengan sangat cepat dari penyelaman dalam.Gelembung gas ini dominan berada dalam vena besar yang mengembalikan darah ke jantung.

CD Neurologik
Menurut Rivera 25 % PD Tipe II menyangkut kelainan neurologik. Terlibatnya SSP lebih sering terjadi sesudah penyelaman dalam dan singkat dibanding dengan penyelaman dangkal yang lebih lama, terutama pada penyelam rekreasi yang kurang terlatih dan tidak mengindahkan peraturan yang digariskan pada penyelaman ulang aling(bounce diving).
Tiap gejala atau devisit neurologik sesudah penyelaman harus dianggap sebagai manifestasi PD, kecuali dibuktikan lain dan penanganannya harus disesuaikan.Presentasi klasik emboli gas akibat barotrauma paru-paru adalah hilangnya segera kesadaran yang dapat cepat menyebabkan kematian atau manifestasi stroke (hemiplegia, monoplegia) pada waktu tiba dipermukaan,sedangkan presentase neurologik klasik dari PD akibat gelembung-gelembung dari gas larut adalah ascending paraplegia (spinal bends).

PD Vestibular : the staggers (terhuyung-huyung)
PD vestibular ini atau labyrinthine ini relatif sering ditemukan (13-72 % dari kasus PD tipe II) dan lebih banyak pada penyelaman saturasi dari pada ulang-aling. Presentasi khas dari sindrom ini adalah onset mendadak vertigo, mual, muntah, nistagmus, dengan atau tanpa tinitus dan tuli pada dekompresi. Lesi patologisnya adalah sobeknya membran didalam kanalis semisirkularis dan kokhlea, dengan perdarahan dan pembentukan tulang baru bila terjadi kesembuhan. Sekali-kali disertai fraktur tulang petrosus, jadi kekuatan yang ditimbulkan oleh dekompresi mestinya sangat besar. 3, 5

DIAGNOSIS
Diagnosis CD dapat ditegakkan melalui pertanyaan anamnesa mengenai riwayat menyelam penderita sebelumnya (dalam waktu 24 jam terakhir) dan dari pemeriksaan fisis, didapatkan gejala-gejala CD.
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan untuk menentukan diagnosis CD adalah : (2, 5, 9)
1. Pemeriksaan Laboratorium
i) Darah rutin
- Pada pasien yang datang gejala neurologik yang persisten dalam beberapa minggu setelah cedera bisa didapatkan hematokrit (Hct) sebanyak 48% atau lebih.
ii) Analisis gas darah
- Menentukan alveolar-arterial gradient pada pasien dengan suspek emboli.
iii) Creatinine Phosphokinase (CPK)
- Peningkatan CPK menunjukkan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh mikroemboli.
2. Pemeriksaan radiologi (mis: Radiografi, USG Doppler,)
3. Elektrokardiogram (EKG) 2, 7, 8, 9, 10

VII. DIAGNOSIS BANDING
1. Pneumothoraks
2. Pneumonia
3. Pneumomediastinum
4. Stroke Hemoragik
5. Penyebab kardiogenik seperti cardiac arrest 5

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk Caisson Disease ringan dapat diobati dengan menghirup O2 100% pada tekanan permukaan, pengobatan terpenting adalah rekompressi. Bila penderita perlu diangkut ke ruang rekompresi yang terdekat atas nasehat dokter hiperbarik, maka bila ada RUBT (Ruang Udara Bertekanan Tinggi) portable bertekanan 2 ATA penderita dimasukkan ke dalam unit ini dan diangkut ke RUBT defenitif. Bila perlengkapan ini tidak tersedia maka penderita diberi O2 100% pada tekanan 1 ATA dengan masker tertutup rapat, diselingi tiap 30 menit bernafas selama 5 menit dengan udara biasa untuk menghindari intoksikasi O2. Ini akan mempercepat pelepasan N2 yang berlebihan dari dalam tubuh sehingga seringkali mengurangi gejala-gejala untuk sementara waktu. Bila nampak gejala serius maka dipasang infus larutan garam isotonik atau Ringer dan pada kasus ringan penderita diberi banyak air minum sampai urin berwarna putih dan jumlahnya banyak bila perlu dipasang keteter dan pleurosentesis. Untuk mencegah dekubitus, bagian yang lumpuh digerakkan pasif secara teratur. Bila nampak gejala neurologik maka dosis tinggi kortikosteroid diberikan untuk menanggulangi edema, namun keberhasilannya dipertanyakan. Begitu pula ada keraguan mengenai pemberian aspirin per oral sebagai anti agregasi platelet, karena efek anti koagulasi obat ini dapat meningkatkan perdarahan di telinga bagian dalam yang sudah rusak oleh gelembung (barotrauma aural).
Penderita secepat mungkin diangkut ke fasilitas RUBT. Pada pengangkutan, baik melalui darat maupun udara, ketinggian yang dilintasi jangan melebih 300 meter.
Tiba di RUBT maka rekompresi dengan O2 100% dengan tekanan paling sedikit 18 meter (2,8 ATA) adalah pilihan utama pada banyak kasus PD. Bila sesudah 10 menit penderita belum sembuh sempurna maka terapi diperpanjang sampai 100 menit dengan diselingi tiap 20 menit bernafas selama 5 menit dengan udara biasa. Setelah ini dilakukan dekompresi dari 18 meter ke 9 meter selama 30 menit dan mengobservasi penderita kemungkinan terjadinya deteriorasi. Selanjutnya penderita dinaikkan ke permukaan selama 30 menit. Seluruh waktu pengobatan dapat berlangsung selama kurang dari 5 jam. Rekompresi mengurangi diameter gelembung sesuai hukum Boyle dan ini akan menghilangkan rasa sakit dan mengurangi kerusakan jaringan. Selanjutnya gelembung larut kembali dalam plasma sesuai hukum Henry. O2 yang digunakan dalam terapi mempercepat sampai 10 kali pelarutan gelembung dan membantu oksigenasi jaringan yang rusak dan iskemik.
Dalam kasus darurat yang jauh dari fasilitas RUBT dapat dilakukan rekompresi di dalam air untuk mengobati PD langsung di tempat. Walaupun dapat dan telah dilakukan, mengenakan kembali alat selam dan menurunkan penyelam di dalam air untuk rekompresi, namun cara ini tidak dapat dibenarkan. Kesukaran yang dihadapi adalah penderita tidak dapat menolong dirinya sendiri, tidak dapat dilakukan intervensi medik bila ia memburuk dan terbatasnya suplai gas. Oleh karenanya usaha untuk mengatasi PD seringkali tidak berhasil dan malahan beberapa penderita lebih memburuk keadaannya. Cara rekompresi di bawah air dikembangkan di Australia oleh Edmunds. Penderita selalu didampingi oleh seorang pengawas medis, dilangkapi pakaian pelindung. Full face mask dan helm dengan suplai O2 murni yang cukup banyak untuk penderita dan suplai udara untuk pengawas yang disalurkan dari permukaan, sehingga memungkinkan rekompresi pada kedalaman maksimum 9 meter selama 30-60 menit. Kecepatan naik adalah 1 meter tiap 12 menit, dan bila gejalanya kambuh, tetaplah berada di kedalaman tersebut selama 30 menit sebelum meneruskan naik ke permukaan, penderita diberi O2 selama 1 jam, kemudian bernafas dengan udara selama 1 jam, demikian seterusnya hingga 12 jam.
Obat-obatan yang dapat diberikan selam rekompresi adalah infus cairan (Dextran, plasma) bila ada dehidrasi atau syok, steroid (deksametason) bila ada edema otak, obat anti pembekuan darah (heparin), digitalis bila terjadi gagal jantung, anti oksidan (vitamin E, vitamin C, betakaroten) untuk mengantisipasi pembekuan oksidan (radikal bebas) yang merusak sel tubuh pada terapi oksigen hiperbarik.
Banyak perhatian sekarang ditunjukkan pada efek sekunder dari gelembung terhadap darah, karena pada beberapa kasus rekompresi berulang-ulang tidak berhasil baik. Beberapa percobaan klinik sedang berjalan atau direncanakan untuk mengetes kemanjuran dari :
1) Oksigen-Helium untuk mempercepat resolusi gelembung udara / mengurangi volume gelembung.
2) Lignocaine untuk menstabilkan membran neuro, mengurangi ikatan leukosit neutrofil pada sel-sel endotel dan mengurangi produksi toksin oksidatif dengan menginvasi leukosit neutrofil.
3) Perfluorocarbon emulsion blood substitut untuk mengurangi viskositas darah. 3, 5

KOMPLIKASI
Kasus PD yang parah dapat mengakibatkan kematian. Gelembung gas yang besar dalam menghambat aliran darah yang membawa oksigen ke otak, sistem saraf pusat dan organ vital yang lainnya. 2, 7
Walaupun perubahan tekanan atmosfer tidak langsung menunjukkan perubahan pada gejala klinis, namun perubahan tekanan udara yang mendadak dapat menyebabkan cedera tulang permanen yang dinamakan dysbaric osteonecrosis (DON) yakni kematian sel-sel tulang akibat tekanan yang kuat. DON bisa terjadi pada paparan pertama dari dekompresi yang mendadak. DON didiagnosa dari lesi yang terdeteksi di foto polos tulang. Namun, foto polos ini dapat memberi gambaran normal paling kurang setelah 3 bulan terjadi kerusakan yang permanen; ini mungkin memakan waktu selama 4 tahun setelah terjadinya kerusakan baru bisa dilihat gambaran pada foto polos. 2, 9

PROGNOSIS
Prognosis baik dengan terapi oksigen, pasien dalam kondisi sehat tanpa penyakit penyerta lain. Prognosis pada penyakit Caisson tergantung pada paparan penderita oleh perubahan tekanan atmosfer terutama perubahan yang terjadi mendadak serta manifestasi klinis yang ditunjukkan. Tipe I biasanya memberikan prognosis yang baik, sedangkan tipa II biasanya memberikan prognosis yang jelek tanpa pengobatan yang cepat dan tepat. 4,9
Urtikaria


Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai. Dapat terjadi secara akut maupun kronik, keadaan ini merupakan masalah untuk penderita maupun dokter. Walaupun patogenesis dan penyebab yang dicurigai telah ditemukan, ternyata pengobatan yang diberikan kadang tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan.

DEFENISI
Urtika adalah edema setempat yang timbul mendadak dan hilang perlahan-lahan (Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin hal.35).
Urtika adalah penonjolan di atas permukaan kulit akibat edema setempat dan dapat hilang perlahan-lahan, misalnya pada dermatitis medikamentosa, dan gigitan serangga (Saripati Penyakit Kulit hal.3) .
Urtikaria ialah reaksi vaskuler di kulit akibat berbagai macam sebab, biaanya ditandai dengan edema setempat yang timbul dengan cepat dan menghilang secara perlahan, berwarna pucat dan kemerahan, ada peninggian pada permukaan kulit, dan dapat ditemukan halo di sekelilingnya. Keluhan subyektif biasanya berupa gatal, rasa tersengat atau tertusuk.
Angioedema adalah urtika yang mengenai lapisan kulit yang lebih dalam daripada dermis, bisa di submukosa atau subkutis. Dapat menyerang saluran nafas, saluran cerna, dan organ kardiovakular. (Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin hal.153).

SINONIM
Istilah lain yang digunakan untuk urtikaria yaitu : Hives, nettle rash, biduran, kaligata.

UrtikariaEPIDEMIOLOGI
Urtikaria dan angioedema sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa lebih banyak mengalami urtikaria dibandingkan dengan usia muda. SHELDON (1951), menyatakan bahwa umur rata-rata penderita urtikaria ialah 35 tahun, jarang dijumpai pada umur kurang dari 10 tahun atau lebih dari 60 tahun.
Ditemukan 40% bentuk urtikaria saja, 49% bentuk urtikaria bersama angioedema, dan 11% bentuk angioedema saja. Lama serangan berlangung bervariasi, ada yang lebih dari satu tahun, bahkan ada yang lebih dari 20 tahun.
Penderita atopi (alergi) lebih muda mengalami urtikaria dibandingkan dengan orang normal. Tidak ada perbedaan frekuensi dari faktor jenis kelamin baik laki-laki atau perempuan. Umur, ras, jabatan/pekerjaan, letak geografis, dan perubahan musim dapat mempengaruhi hipersensitivitas yang diperankan oleh IgE. Penisilin tercatat sebagai obat yang sering menimbulkan urtikaria.

ETIOLOGI
Urtikaria dapat juga disebabkan oleh alergi terhadap hawa udara, makanan, dan infeksi fokal (Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin hal.140).

Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, di antaranya : obat, makanan, gigitan/sengatan serangga, bahkan fotosensitizer, inhalan, kontaktan, trauma fisik, infeksi dan infestasi parasit, psikis, genetik, dan penyakit sistemik.

01. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik maupun nonimunologik. Hampir semua obat sistemik dapat menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Contohnya ialah obat-obat golongan penisilin, sulfonamid, analgesik, pencahar, hormon, dan diuretik. Adapula obat yang secara nonimunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya kodein, opium, dan zat kontras. Aspirin menimbulkan urtikaria karena menghambat sintesis prostaglandin dari asam arakidonat.

02. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria yang akut, umumnya akibat reaksi imunologik. Makanan berupa protein atau bahan lain yang dicampurkan kedalamnya seperti zat warna, penyedap rasa, atau bahan pengawet, sering menimbulkan urtikaria alergika. Contoh makanan yang sering menimbulkan urtikaria ialah telur, ikan, kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju bawang, dan semangka; bahan yang icampurkan seperti asam nitrat, asam benzoat, ragi, salisilat, dan penisilin. CHAMPION (1969) melaporkan +2% urtikaria kronik disebabkan sensitasi terhadap makanan.

03. Gigitan/sengatan serangga
Gigitan/sengatan serangga dapat menimbulkan urtikaria setempat, agaknya hal ini lebih banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV). Tetapi venom an toksin bakteri, biasanya dapat pula mengaktifkan komplemen. Nyamuk, kepinding, dan serangga lainnya menimbulkan urtikaria bentuk papular di sekitar tempat gigitan. Biasanya sembuh dengan sendirinya setelah beberapa hari, mingu atau bulan.

04. Bahan fotosensitizer
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria

05. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, bulu binatang, dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I). Reaksi ini sering dijumpai pada penderita atopi dan disertai gangguan nafas.

06. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia misalnya insect repellent (penangki serangga), dan bahan kosmetik. Keadaan ini disebabkan karena bahan tersebut menembus kulit dan menimbulkan urtikaria.
TUFT (1975) melaporkan urtikaria akibat sefalosporin pada seorang apoteker, hal yang jarang terjadi; karena kontak dengan antibiotik umumnya menimbulkan dermatitis kontak. Urtikaria akibat kontak dengan klorida kobal, indikator warna pada tes provokasi keringat, telah dilaporkan oleh SMITH (1975).

07. Trauma fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, yakni berenang atau memegang benda yang dingin; faktor panas, misalnya sinar matahari, sinar ultraviolet, radiasi dan panas pembakaran; faktor tekanan, yaitu goresan, pakaian ketat, ikat pinggang, air yang menetes atau semprotan air, vibrasi dan tekanan berulang-ulang contonya pijatan, keringat, pekerjaan berat, demam dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik maupun non imunologik. Klinis biasanya terjadi pada tempat-tempat yang mudah terkena trauma. Dapat timbul urtikaria setekah goresan dengan benda tumpul beberapa menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme atau fenomena Darier.

08. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit. Infeksi oleh bakteri, contohnya pada infeksi tonsil, infeksi gigi, dan sinusitis. Masih merupakan pertanyaan, apakah urtikaria timbul karena toksin bakteri atau oleh sensatisasi. Infeksi virus hepatitis, mononukleosis, dan infeksi virus Coxsackie pernah dilaporkan sebagai faktor penyebab. Karena itu pada urtikaria yang idiopatik perlu dipikirkan kemungkinan infeksi virus subklinis. Infeksi jamur kandida dan dermatofit sering dilaporkan sebagai penyebab urtikaria. Infestasi cacing pita, cacing tambang, cacing gelang juga Schistosoma

09. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler. Ternyata hampir 11,5% penderita urtikaria menunjukkan gangguan psikis. Penyelidikan memperlihatkan bahwa hipnosis dapat menghambat eritema dan urtikaria. Pada percobaan induksi psikis, ternyata suhu kulit dan ambang rangsang eritema meningkat.

10. Genetik
Faktor genetik ternyata berperan penting pada urtikaria dan angioedema, walaupun jarang menunjukkan penurunan autosomal dominan. Di antaranya ialah angioneurotik edema herediter, familial cold urticaria, familial localized heat urticaria, vibratory angioedema, heredo-familial syndrome of urticaria deafness and amyloidosis, dan erythropoietic protoporphyria.

11. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi. Penyakit vesiko-bulosa, misalnya pemfigus dan dermatitis herpetiformis Duhring, sering menimbulkan urtikaria. Sejumlah 7-9% penderita lupus eritematosus sistemik dapat mengelami urtikaria. Beberapa penyakit sistemik yang sering disertai urtikaria antara lain limfoma, hipertiroid, hepatitis, urtikaria pigmentosa, artritis pada demam reumatik, dan artritis reumatoid juvenilis.

KLASIFIKASI
Terdapat bermacam-macam paham penggolongan urtikaria, berdasarkan lamanya serangan berlangsung dibedakan menjadi urtikaria akut dan kronik. Disebut akut bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu, atau berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari; bila melebihi waktu tersebut digolongkan sebagai urtikaria kronik. Urtikaria akut lebih sering terjadi pada anak muda, umumnya laki-laki lebih sering daripada perempuan. Urtikaria kronik lebih sering pada wanita usia pertengahan. Penyebab urtikaria akut lebih mudah diketahui, sedangkan urtikaria kronik sulit ditemukan. Ada kecenderungan urtikaria lebih sering diderita oleh penderita atopik.
Berdasarkan morfologi klinis, urtikaria dibedakan menurut bentuknya, yaitu urtikaria papular bila berbentuk papul, gutata bila besarnya sebesar tetesan air, dan gurata bila ukurannya besar-besar.. Terdapat pula yang anular dan arsinar. Menurut luasnya dan dalamnya jaringan yang terkena, dibedakan menjadi urtikaria lokal, generalisata dan angioedema. Ada pula yang menggolongkan berdasarkan penyebab urtikaria dan mekanisme terjadinya, maka dikenal urtikaria imunologik, nonimunologik, dan idiopatik sebagai berikut :
I Urtikaria atas dasar reaksi imunologik :
a. Bergantung pada IgE (reaksi alergi tipe I)
i. Pada atopi
ii. Antigen spesifik (polen, obat, venom)
b. Ikut sertanya komplemen :
i. Pada reaksi sitotoksik (reaksi alergi tipe II)
ii. Pada reaksi kompleks imun (reaksi alergi tipe III)
iii. Defisiensi C1 esterase inhibitor (genetik)
c. Reaksi Alergi tipe IV (urtikaria kontak)
II Urtikaria atas dasar reaksi nonimunologik
a. Langsung memacu sel mast, sehingga terjadi pelepasan mediator (misalnya obat golongan opiat dan bahan kontras).
b. Bahan yang menyebabkan perubahan metabolisme asam arakidonat (misalnya aspirin, obat anti-inflamasi nn-steroid, golongan azodyes).
c. Trauma fisik, misalnya dermografisme, rangsangan dingin, panas atau sinar, dan bahan kolinergik.
III Urtikaria yang tidak jelas penyebab dan mekanismenya, digolongkan sebagai urtikaria idiopatik.

PATOGENESIS
Mekanisme terjadinya urtikaria sangat penting untuk diketahui, karena hal ini akan dapat membantu pemeriksaan yang rasional. Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan setempat. Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator, misalnya histamin, kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin leh sel mast dan atau basofil. Selain itu terjadi inhibisiproteinase oleh enzim proeolotik, misalnya kalikrin, tripsin, plasmin, dan hemotripsin di dalam sel mast.
Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut. Pada yang nonimunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik, misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum diketahui, langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator. Faktor fisik, misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan, dapat langsung merangsang sel mast. Beberapa keadaan , misalnya demam, panas, emosi, dan alkohol dapat merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas. Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik; biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc, bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE, maka terjadi degranulasi sel, sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen secara klasik maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3aC5a) yang mampu merangsang sel mast dan baofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri. Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan kompleks imun, pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak dapat juga terjadi misalnya setelah pemakaian bahan penangkis serangga, bahan kosmetik, dan sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik menyebabkan edema angioneurotik yang herediter.

GEJALA KLINIS
Keluhan subyektif biasanya gatal, rasa terbakar, atau tertusuk. Klinis tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah tampak lebih pucat. Bentuknya dapat papular seperti pada urtikaria akibat sengatan serangga, besarnya dapat lentikular, numular, sampai plakat. Bila mengenai jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan jaringan submukosa dan subkutan, juga beberapa alat dalam misalnya saluran serna dan nafas, disebut angioedema. Pada keadaan ini jaringan yang lebih sering terkena adalah muka, disertai sesak nafas, serak, dan rinitis.
Dermografisme berupa edema dan eritema yang linier di kulit yang terkena goresan benda tumpul, timbul dalam waktu lebih kurang 30 menit. Pada urtikaria akibat tekanan, urtikaria timbul pada tempat yang tertekan, misalnya di sekitar pinggang, pada penderita ini dermografisme jelas terlihat.
Urtikaria akibat penyinaran biasanya pada gelombang 285-320nm dan 400-500nm, timbul setelah 18-72 jam penyinaran, dan klinis berbentuk urtikaria papular. Hal ini harus dibuktikan dengan tes foto tempel. Sejumlah 7-17% urtikaria kronik disebabkan faktor fisik, antara lain akibat dingin, panas, tekanan, dan penyinaran. Umumnya pada dewasa muda, terjadi pada episode singkat dan biasanya umum kortikosteroid sistemik kurang bermanfaat.
Urtikaria kolinergik dapat timbul pada peningkatan suhu tubuh, emosi, makanan yang merangsang, dan pekerjaan berat. Biasanya sangat gatal, urtika bervariasi dari beberapa mm sampai numular dan konfluen membentuk plakat. Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut, diare, munta-muntah, dan nyeri kepala; dijumpai pada umur 15-25 tahun. Urtikaria akibat obat atau makanan umumnya timbul secara akut dan generalisata.

PEMBANTU DIAGNOSIS
Walaupun melalui anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis mudah ditegakkan diagnosis urtikaria, beberapa pemeriksaan diperlukan untuk membuktikan penyebabnya, misalnya :
1. Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam. Cryoglobulin dan cold hemolysin perlu diperiksa pada dugaan urtikaria dingin.
2. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina perlu untuk menyingkirkan dugaan adanya infeksi fokal.
3. Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil, dan komplemen.
4. Tes kulit, meskipun terbatas kegunaannya dapat dipergunakan untuk membantu diagnosis. Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test), serta tes intradermal dapat dipergunakan untuk mencari alergen inhalan, makanan, dermatofit dan kandida.
5. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.
6. Pemeriksaan histopatologik, walaupun tidak selalu diperlukan, dapat membantu diagnosis. Biasanya terdapat kelainan berupa pelebaran kapiler di papilla dermis, geligi epidermis mendatar, dan serat kolagen membengkak. Pada tingkat permulaan tidak tampak infiltrasi seluler dan pada tingkat lanjut terdapat infiltrasi leukosit, terutama disekitar pembuluh darah.
7. Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.
8. Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosis urtikaria kolinergik.
9. Tes dengan es (ice cube test)
10. Tes dengan air hangat.

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis yang cermat serta pembantu diagnosis di atas, agaknya dapat ditegakkan diagnosis urtikaria dan penyebabnya. Walaupun demikian hendaknya dipikirkan pula beberapa penyakit sistemik yang sering disertai urtikaria. Urtikaria kronik harus dibedakan dengan purpura anafilaktoid, pitiriasis rosea bentuk papular, dan urtikaria pigmentosa.

PENGOBATAN
Pengobatan yang paling ideal tentu saja mengobati penyebab atau bila mungkin menghindari penyebab yang dicurigai. Bila tidak mungkin paling tidak mencoba mengurangi penyebab tersebut, minimal tidak menggunakan dan tidak berkontak dengan penyebabnya.
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambat histamin pada reseptor-reseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat, antihistamin dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu antagonis reseptor H1 (antiistamin 1, AH1) dan reseptor H2 (AH2).
Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan angioedema dipercayakan pada efek antagonis terhadap histamin pada reseptor H1, namun efektifitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek samping farmakologik, yaitu sedasi. Dalam perkembangannya terdapat antihistamin yang baru yang berkhasiat yang berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi nonsedasi, golongan ini disebut sebagai antihistamin nonklasik.
Antihistamin yang klasik dibagi atas enam kelompok seperti yang terlihat pada tabel 1.
TABEL 1. PENGGOLONGAN ANTIHISTAMIN
Antihistamin H1
Kelas/nama generik Nama Pabrik
1. etanolamin/difenhidramin
2. etilendiamin/tripelenamin
3. alkilamin/klofeniramid
4. piperazin/siklizin
5. fenotiazin/prometazin
6. tambahan
a. hidroksizin hidroklorid
b. siproheptadin benadryl
pyribenzamine
chlortrimethon
marezine
phenergan

atarax
periactin
Antihistamin H2 cimetidin

Pada umumnya efek antihistamin telah terlihat dalam waktu 15-30 menit setelah pemakaian oral, dan mencapai puncaknya pada 1-2 jam, sedangkan lama kerjanya bervariasi dari 3-6 jam. Tetapi ada juga antihistamin yang waktu kerjanya lebih lama yaitu meklizin dan klemastin.
Pemakaian di klinik hendaknya selalu mempertimbangkan cara kerja obat, farmakokinetik dan farmakodinamik, indikasi dan kontra indikasi, cara pemberian, serta efek samping obat dan interaksinya dengan obat lain.
Biasanya antihistamin golongan AH1 yang klasik menyebabkan kontraksi otot polos, vasokonstriksi, penurunan permeabilitas kapiler, penekanan sekresi dan penekanan pruritus. Selain efek ini terdapat pula efek yang tidak berhubungan dengan antagonis reseptor H1, yaitu efek antikolinergik atau menghambat reseptor alfa adrenergik.
Antihistamin AH1 yang nonklasik contohnya : terfenadin, astemizol, loratadin, dan mequitazin. Golongan ini diabsorbsi lebih cepat dan mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih lambat dan mencapai efek maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadin), sedangkan aztemizol dalam waktu 96 jam setelah pemberian oral. Efektifitasnya berlangsung lebih lama dibandingkan dengan AH1 yang klasik, bahkan aztemizol masih efektif 21 hari setelah pemberian dosis tunggal secara oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai antihistamin yang long acting.
Keunggulan lain AH1 non klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi karena tidak dapat menembus sawar darah otak. Di samping itu golongan ini tidak memberi efek antikolinergik, tidak menimbulkan potensiasi dengan alkohol, dan tidak terdapat penekanan pada SSP serta relatif nontoksik.
Akhir-akhir ini juga berkembang istilah antihistamin yang berkhasiat berspektrum luas, yang dimaksud adalah selain berkhasiat sebagai antihistamin, juga berkhasiat terhadap mediator lain umpamanya serotonin, contohnya hemoklorsiklizin.
Bila pengobatan dengan satu jenis antihistamin gagal hendaknya dipergunakan antihistamin grup lain. Hidroksizin ternyata lebih efektif daripada antihistamin lain untuk mencegah urtikaria, dermografisme dan urtikaria kolinergik. Pada urtikaria karena dingin ternyata siproheptadin lebih efektif. Kadang-kadang golongan beta adrenergik seperti epinefrin atau efedrin, kortikosteroid, serta tranquilizer, baik pula untuk mengatasi urtikaria. Penyelidik lain mengemukakan pengeobatan dengan obat beta adrenergik ternyata efektif untuk urtikaria yang kronik. Pemberian kortikosteroid sistemik diperlukan pada urtikaria yang akut dan berat, tetapi tidak banyak manfaatnya pada urtikaria kronik.
Pada tahun-tahun terakhir ini dikembangkan pengobatan yang baru, hasil pengamatan membuktikan bahwa dinding pembuluh darah manusia juga mempunyai reseptor H2. Hal ini apat menerangkan, mengapa antihistamin H1 tidak selalu berhasil mengatasi urtikaria. Kombinasi antihistamin H1 dan H2 masih dalam penelitian lebih lanjut. Tetapi pada dermografisme yang kronik pengobatan kombinasi ternyata lebih efektif daripada antihistamin H1 saja.
Pada edema angioneurotik kematian hampir 30% disebabkan oleh karena obstruksi saluran nafas. Biasanya tidak responsif terhadap antihistamin, epinefrin, maupun steroid. Pada gigitan serangga akut mungkin dapat diberikan infus dengan plasma fresh frozen, yang obyektif tentu saja pemberian plasma yang mengandung C1 esterase inhibitor, C2, dan C4. Hal yang penting ialah segera dilakukan tindakan mengatasi edema larins.
Pengobatan dengan anti-enzim, misalnya anti plasmin dimaksudkan untuk menekan aktifitas plasmin yang timbul pada perubahan reaksi antigen-antibodi. Preparat yang digunakan adalah ipsilon. Obat lain ialah trasilol, hasilnya 44% memuaskan.
Pengobatan dengan cara desensitasi, misalnya dilakukan pada urtikaria dingin, dengan melakukan sensitisasi air pada suhu 10oC (1-2 menit) dua kali sehari selama 2-3 minggu. Pada alergi debu, serbuk sari bunga jamur, desensitasi mula-mula dengan alergen dosis kecil 1 minggu 2x; dosis dinaikkan dan dijarangkan perlahan-lahan sampai batas yang dapat ditolerir oleh penderita. Eliminasi diet dicobakan pada yang sensitif terhadap makanan.
Pengobatan lokal di kulit dapat diberikan secara simptomatik, misalnya anti-pruritus di dalam bedak atau bedak kocok.

PROGNOSIS
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi, urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.
Labels: Health
0 comments:
Kelalaian Medik

8:03 AM Posted by Irga
Kelainan Medik, Profesi dokter merupakan sebuah profesi yang menjalankan tugas kemanusiaan yang berkecimpung dalam suatu bidang yang tidak seluruhnya jelas. Ilmu kedokteran adalah gabungan antara sains dan dan seni (science and art) yang kematangannya diperoleh dari pengalaman dan perhatian yang seksama. Dokter harus bekerja dalam situasi ketidakpastian dan berdasarkan kepada ilmu pengetahuan yang telah dipelajari serta pengalaman yang diperoleh selama menjalankan praktek. 1
Cara bekerja dokter dalam menangani seorang pasien antara mungkin dan tidak pasti karena tubuh manusia bersifat kompleks dan tidak dapat dimengerti seluruhnya. Kini kedua disiplin yang tertua, yaitu Hukum dan Medis mau tidak mau harus bergabung (bukan meleburkan diri) tetapi bekerjasama dalam suatu bidang aliansi antara hukum dan medis dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip dan asas-asas masing-masing disiplin. Kedua disiplin saling membutuhkan, Medik membutuhkan Hukum untuk pembelaan dirinya terhadap tuntutan dugaan malpraktik medik. Pihak Hukum membutuhkan profesi Medik untuk bisa bekerja dalam bidang yang tidak dikuasainya dan yang juga dibutuhkan oleh masyarakat. Cabang Ilmu Hukum yang dinamakan Hukum Medik yang dibutuhkan dalam hal ini.1
Disiplin Hukum Medik adalah cabang dari hukum. Suatu disiplin ilmu pada prinsipnya harus taat kepada prinsip dan asas disiplin induknya. Hukum Medik, disiplin induknya adalah Hukum. Dengan demikian, maka mau tidak mau, yang berlaku dalam Hukum Medik terutama adalah asas dan prinsip dari hukum sebagai induknya, bukan asas dan prinsip dari Medik. Hal ini tidak berarti bahwa pengetahuan medik tidak dibutuhkan dalam Hukum Medik. Justru ilmu pengetahuan dari disiplin medik tetap dan sangat dibutuhkan oleh Hukum Medik. Hukum Medik tidak akan bisa eksis tanpa adanya bantuan dan turut sertanya ilmu kedokteran. Tugas bidang medik dalam Hukum Medik adalah untuk mengklarifikasikan, menjelaskan, dan memastikan penilaian dalam suatu bidang yang tidak dikuasai atau dimengerti oleh pihak hukum. Tanpa dibantu dan bekerjasama dengan ilmu medik, maka Hukum Medik tidak bisa berjalan. Namun, sebagai cabang dari Ilmu Hukum walaupun secara prinsip ia harus tunduk kepada prinsip induknya, tetapi dalam hukum medis, dia seolah-olah tidak mengindahkan kompartemen tradisional yang sementara ini dikenal para sarjana hukum seperti pelanggaran hukum, kontrak, hukum pidana, hukum keluarga, dan hukum publik. 1
Persoalan yang dihadapi sekarang adalah karena di Indonesia belum mempunyai hukum medik dalam arti kata yang lengkap dan dapat dipakai. Harus dipahami bahwa, dokter adalah seorang ahli di bidang medis, namun sebagai manusia ia pun tidak terhindar dari kesalahan. Dengan mengambil dasar bahwa segala tindakan medis dilaksanakan oleh seorang dokter berawal dari sebuah niat baik, maka perlu adanya perlindungan yang dapat menjamin keselamatan kedua belah pihak, dokter dan pasien, dalam hukum.1
Dasar adanya kewajiban dokter adalah adanya hubungan kontraktual-profesional antara tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional. Kewajiban-kewajiban tersebut dilihat dari segi hukum merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk memperoleh perlindungan, baik bagi pemberi layanan maupun bagi penerima layanan; atau dengan demikian untuk mencapai safety yang optimum. UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa kewajiban utama dokter adalah memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien (pasal 51). 1
Dalam kaitannya dengan kelalaian medik, kewajiban tersebut berkaitan dengan kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis tertentu, atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu (due care). 1

II. DEFINISI
Kelalaian (negligence)
Di dalam konteks hukum medik istilah dan kasus “kelalaian” dapat dikatakan memenuhi sebahagian besar kepustakaan yang menyangkur yuisprudensinya. Kadang – kadang secara umum dipakai istilah “malpraktek medik” atau kelalaian medic.1
“Malpraktek” adalah istilah umum yang sebenarnya bukan hanya bisa terjadi di dunia kedokteran saja. Profesi lainpun, seperti hukum atau akuntan atau apoteker juga bisa dituntut berdasarkan malpraktek profesinya. Sehingga jika berbicara mengenai masalah yang menyangkut bidang medik, sebaiknya ditambah juga dengan embel-embel medik sehingga menjadi malpraktek medik (medical malpractice).1
Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.2,3,4
Apa yang dinamakan kelalaian medik (medical negligance) adalah ketentuan legal yang terdiri dari tiga unsur. 1
1. Terdapat hubungan antara dokter dan pasien
2. Dokter itu telah melanggar kewajibannya, karena tidak memenuhi standar pemberian pelayanan
3. Pelanggaran itu telah menyebabkan pasien menderita kerugian (harm) yang sebenarnya dapat dibayangkan dan secara wajar dapat dicegah.

Evidence-based guidelines dapat mempengaruhi unsur kedua (2), yaitu dengan cara bagaimana pengadilan itu mengadakan penilaiannya. Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa dalam common law terdapat ketegangan antara (1) tes yang bersifat deskriptif dari kelalaian medik yang mengukur sikap-tindak yang dilakukan di dalam praktek, dan (2) tes normatif yang memfokuskan diri terhadap apa yang seharusnya dilakukan. Yang pertama secara umum mengangap cara menjalankan praktik profesional adalah yang sudah diterima dan berdasarkan standar legal. Sedangkan yang terakhir mengizinkan standar-standar yang ditentukan dengan kiteria lain, seperti yang ditetapkan di dalam pernyataan untuk “good practice” atau pedoman yang berdasarkan ‘evidence-based’.1
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, malfeasance, misfeasance dan nonfeasance yaitu :1.5
1. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper).
2. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.
3. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses) yang akan diuraikan dibawah, namun pada kelalaian harus memenuhi ke-empat unsur kelalaian dalam hukum – khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk.
III. UNSUR-UNSUR KELALAIAN
Dalam suatu layanan medik dikenal gugatan ganti kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian medik. Suatu perbuatan atau tindakan medis disebut sebagai kelalaian apabila memenuhi empat unsur di bawah ini.1,2,6,7
1. Duty to use due care. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dasar dari adanya kewajiban ini adalah adanya hubungan kontraktual-profesional antara tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional. Kewajiban-kewajiban tersebut dilihat dari segi hukum merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk mencapai perlindungan, baik bagi pemberi layanan maupun bagi penerima layanan; atau dengan demikian untuk mencapai safety yang optimum.
Contoh : seorang dokter terkenal di dalam pesawat duduk di sebelah seorang penumpang lain yang baru dikenal. Karena wajah sang dokter sering terdapat di majalah maka orang itu langsung mengenalinya dan mulai membuka pembicaraan. Antara mana diceritakan tentang penyakitnya dan juga menanyakan obat apa yang harus Ia makan. Sang dokter menyebutkan beberapa obat yang biasa ia pergunakan. Orang itu lalu membelinya di apotik dan meminumnya, namun ternyata tidak cocok karena terdapat kontraindikasi untuknya, sehingga menderita luka karenanya. Orang itu kemudian menuntut dokter tersebut, tapi di tolak oleh hakim karena tidak memenuhi unsur pertama tersebut, dalam arti tidak ada hubungan sebagai dokter – pasien.
2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut. Dengan melihat uraian tentang kewajiban di atas, maka mudah buat kita untuk memahami apakah arti penyimpangan kewajiban. Dalam menilai kewajiban dalam bentuk suatu standar pelayanan tertentu, haruslah kita tentukan terlebih dahulu tentang kualifikasi si pemberi layanan (orang dan institusi), pada situasi seperti apa dan pada kondisi bagaimana. Suatu standar pelayanan umumnya dibuat berdasarkan syarat minimal yang harus diberikan atau disediakan (das sein), namun kadang-kadang suatu standar juga melukiskan apa yang sebaiknya dilakukan atau disediakan (das sollen). Kedua uraian standar tersebut harus hati-hati diinterpretasikan. Demikian pula suatu standar umumnya berbicara tentang suatu situasi dan keadaan yang “normal” sehingga harus dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat diterapkan pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya Golden Rule yang menyatakan “What is right (or wrong) for one person in a given situation is similarly right (or wrong) for any other in an identical situation”.
3. Damage atau kerugian. Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. Jadi, unsur kerugian ini sangat berhubungan erat dengan unsur hubungan sebab-akibatnya. Kerugian dapat berupa kerugian materiel dan kerugian immateriel. Kerugian yang materiel sifatnya dapat berupa kerugian yang nyata dan kerugian sebagai akibat kehilangan kesempatan. Kerugian yang nyata adalah “real cost” atau biaya yang dikeluarkan untuk perawatan / pengobatan penyakit atau cedera yang diakibatkan, baik yang telah dikeluarkan sampai saat gugatan diajukan maupun biaya yang masih akan dikeluarkan untuk perawatan / pemulihan. Kerugian juga dapat berupa kerugian akibat hilangnya kesempatan untuk memperoleh penghasilan (loss of opportunity). Kerugian lain yang lebih sulit dihitung adalah kerugian immateriel sebagai akibat dari sakit atau cacat atau kematian seseorang.
4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”.
IV. DASAR HUKUM
Akhir-akhir ini tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya kepada pihak rumah sakit dan atau dokternya semakin meningkat kekerapannya. Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun perdata, dengan hampir selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian. Dalam bahasa sehari-hari, perilaku yang dituntut adalah malpraktik medis, yang merupakan sebutan “genus” (kumpulan) dari kelompok perilaku profesional medis yang “menyimpang” dan mengakibatkan cedera, kematian atau kerugian bagi pasiennya.2
Gugatan perdata dalam bentuk permintaan ganti rugi dapat diajukan dengan mendasarkan kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu :2
1. Kelalaian sebagaimana pengertian di atas dan akan diuraikan kemudian
2. Perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan tindakan medis tanpa memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran tentang orang tertentu, penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain.
3. Wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan. Gugatan ini sukar dilakukan karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian tersebut, seandainya ada, umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis.
Di bidang perdata, pasal-pasal yang mengatur tentang kelalaian yaitu :8,9,10
Pasal 1365 KUH Perdata : tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Pasal 1366 KUH Perdata : setiap orang bertanggung-jawa tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatiannya
Pasal 1367 KUH Perdata : seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
Pasal 55 Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan : (1) setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
Pasal 1370 KUH Perdata : Dalam halnya suatu kematian dengan sengaja atau karena kurang hati-hatinya seorang, maka suami atau isteri yang ditinggalkan, anak atau orang tua si korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si korban mempunyai hak menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut keadaan.
Pasal 1371 KUH Perdata : Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain penggantian biaya-biaya penyembuhan, menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan.
Pasal 1372 KUH Perdata : Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.
Di bidang pidana juga dapat ditemukan pasal-pasal yang menyangkut kelalaian, yaitu :
Pasal 359 KUHP : Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lainmati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Pasal 360 KUHP : (1) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. (2) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 361 KUHP : Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan, dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan

IV. PEMBUKTIAN
Pembuktian adanya kewajiban dan adanya pelanggaran kewajiban
Dasar adanya kewajiban dokter adalah adanya hubungan kontraktual-profesional antara tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional. Untuk dapat memperoleh kualifikasi sebagai dokter, setiap orang harus memiliki suatu kompetensi tertentu di bidang medik dengan tingkat yang tertentu pula, sesuai dengan kompetensi yang harus dicapainya selama menjalani pendidikan kedokterannya. Tingkat kompetensi tersebut bukanlah tingkat terrendah dan bukan pula tingkat tertinggi dalam kualifikasi tenaga medis yang sama, melainkan kompetensi yang rata-rata (reasonable competence) dalam populasi dokter. Selanjutnya untuk dapat melakukan praktek medis, dokter tersebut harus memiliki kewenangan medis yang diperoleh dari penguasa di bidang kesehatan dalam bentuk ijin praktek. Kewenangan formil diperoleh dengan menerima “surat penugasan” (atau nantinya disebut sebagai Surat Tanda Registrasi), sedangkan kewenangan materiel diperoleh dengan memperoleh ijin praktek. 2,7
Seseorang yang memiliki kewenangan formil dapat melakukan tindakan medis di suatu sarana kesehatan yang sesuai dengan surat penugasannya di bawah supervisi pimpinan sarana kesehatan tersebut, atau bekerja sambil belajar di institusi pendidikan spesialisasi di bawah supervisi pendidiknya. Sedangkan seseorang yang memiliki kewenangan materiel memiliki kewenangan penuh untuk melakukan praktik medis di tempat praktiknya, karena SIP dokter menurut UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran hanya berlaku untuk satu tempat praktik. Namun demikian tidak berarti dokter tidak diperkenankan melakukan pertolongan atau tindakan medis di tempat lain di seluruh Indonesia.2,7
Sikap dan tindakan yang wajib dilaksanakan oleh dokter diatur dalam berbagai standar. Setidaknya profesi memiliki 3 macam standar, yaitu standar kompetensi, standar perilaku dan standar pelayanan. Standar kompetensi adalah yang biasa disebut sebagai standar profesi. Standar berperilaku diuraikan dalam sumpah dokter, etik kedokteran dan standar perilaku IDI. Dalam bertindak di suatu sarana kesehatan tertentu, dokter diberi rambu-rambu sebagaimana diatur dalam standar prosedur operasi sarana kesehatan tersebut. 1,2,7
Menilai ada atau tidaknya penyimpangan berbagai kewajiban di atas dilakukan dengan membandingkan apa yang telah dikerjakan oleh tenaga medis tersebut (das sein) dengan apa yang seharusnya dilakukan (das sollen). Apa yang telah dikerjakan dapat diketahui dari rekam medis, sedangkan apa yang seharusnya dikerjakan terdapat di dalam berbagai standar. Tentu saja hal ini bisa dilaksanakan apabila di satu sisi rekam medis dibuat dengan akurat dan cukup lengkap sedangkan di sisi lainnya standar pelayanan juga tertulis cukup rinci. Dalam hal tidak ditemukan standar yang tertulis maka diminta peer-group untuk memberikan keterangan tentang apa yang seharusnya dilakukan pada situasi dan kondisi yang identik. Perlu diingat bahwa suatu standar seringkali berkaitan dengan kualifikasi si pemberi layanan (orang dan institusi), pada situasi seperti apa dan pada kondisi bagaimana kasus itu terjadi.2
Dengan melihat uraian tentang kewajiban di atas, maka mudah buat kita untuk memahami apakah arti penyimpangan kewajiban. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya Golden Rule yang menyatakan “What is right (or wrong) for one person in a given situation is similarly right (or wrong) for any other in an identical situation”. 2
Pembelaan dengan mengatakan bahwa tidak ada kewajiban pada pihak dokter hampir tidak mungkin dilakukan, oleh karena pada umumnya hubungan profesional antara dokter dengan pasien telah terbentuk. Sangat jarang kelalaian medis terjadi tanpa adanya hubungan dokter-pasien, seperti pada upaya pertolongan yang dilakukan dokter pada gawat darurat medik yang tidak pada sarana kesehatan. Dengan demikian pembelaan harus ditujukan kepada upaya pembuktian tidak adanya pelanggaran kewajiban yang dilakukan dokter.2
Pembuktian adanya kerugian dan kausalitas
Pada prinsipnya terdapat dua jenis kerugian yang menjadi landasan gugatan ganti rugi tersering kepada pemberi layanan jasa, yaitu yang pertama merupakan kerugian sebagai akibat langsung (atau setidaknya “proximate cause”) dari suatu kelalaian; dan jenis yang kedua adalah kerugian sebagai akibat dari pemberian jasa yang tidak sesuai dengan perjanjian (wanprestasi). Dalam kaitannya dengan layanan jasa kedokteran juga dikenal kerugian akibat peristiwa lain, yaitu misalnya kerugian akibat tindakan tanpa persetujuan, kerugian akibat penelantaran, kerugian akibat pembukaan rahasia kedokteran, kerugian akibat penggunaan alat kesehatan atau obat yang defek, dan kerugian akibat tidak adanya peringatan pada pemberian jasa yang berbahaya. 2,4
Pada prinsipnya suatu kerugian adalah sejumlah uang tertentu yang harus diterima oleh pasien sebagai kompensasi agar ia dapat kembali ke keadaan semula seperti sebelum terjadinya sengketa medik. Tetapi hal itu sukar dicapai pada kerugian yang berbentuk kecederaan atau kematian seseorang. Oleh karena itu kerugian tersebut harus dihitung sedemikian rupa sehingga tercapai jumlah yang layak (reasonable atau fair). Suatu kecederaan sukar dihitung dalam bentuk finansial, berapa sebenarnya kerugian yang telah terjadi, apalagi apabila diperhitungkan pula tentang fungsi yang hilang atau terhambat dan ada atau tidaknya cedera psikologis.2,4
Sebagaimana telah diuraikan di atas, kerugian atau damages dapat diklasifi-kasikan sebagai berikut : 2
Kerugian immaterial (general damages, non pecuniary losses)
1. Kerugian materiel (special damages, pecuniary losses) :
a. Kerugian akibat kehilangan kesempatan
b. Kerugian nyata : Biaya yang telah dikeluarkan hingga saat penggugatan, dan biaya yang akan dikeluarkan sesudah saat penggugatan
Ditinjau dari segi kompensasinya, kerugian dapat diklasifikasikan sebagai berikut :4
1. Kompensasi untuk kecederaan yang terjadi (compensation for injuries, yaitu kerugian yang bersifat immateriel)
a. Sakit dan penderitaan
b. Kehilangan kesenangan/kenikmatan (amenities)
c. Kecederaan fisik dan / atau psikiatris
2. Kompensasi untuk pengeluaran tambahan (compensation for additional expenses, real cost)
a. Pengeluaran untuk perawatan rumah sakit
b. Pengeluaran untuk biaya medis lain
c. Pengeluaran untuk perawatan
3. Kompensasi untuk kerugian lain yang foreseeable (compensation for other foreseeable loss, yaitu kerugian akibat kehilangan kesempatan)
a. Kehilangan penghasilan
b. Kehilangan kapasitas mencari nafkah

Kerugian-kerugian di atas umumnya ditagihkan satu kali, yaitu pada saat diajukannya gugatan. Kerugian, meskipun dapat terjadi berkepanjangan, tidak dapat digugatkan berkali-kali. Oleh karena itu penggugat harus menghitung secara cermat berapa kerugiannya, kini dan yang akan datang. Cara pembayarannya dapat saja berupa pembayaran tunai sekaligus, tetapi dapat pula diangsur hingga satuan waktu tertentu yang disepakati kedua pihak (structured settlement). Pembayaran berjangka tersebut dapat dibebani dengan bunga. Bunga tidak dapat dibebankan kepada kerugian yang akan datang, sedangkan kerugian yang sudah terjadi – termasuk kerugian yang non pecuniary – dapat diberi bunga yang besarnya reasonable.4
Misalnya pada kasus diamputasinya tungkai kanan seseorang yang diduga sebagai akibat dari kelalaian dokter dalam menangani patah tulang paha kanannya akibat kecelakaan lalu-lintas, maka kerugian berupa biaya yang digugatkan kepadanya dapat dirinci sebagai berikut : biaya perawatan medis sejak masuk rumah sakit hingga selesainya terapi pasca-operasi – termasuk biaya non medis yang terjadi sebagai akibat dari perawatan rumah sakit (transport, peralatan khusus, perawat pada home care, dll); biaya pemulihan fungsi tungkai kanan tersebut yang masih akan dibutuhkan (fisioterapi, kaki palsu, dll); kerugian akibat kehilangan penghasilan selama ia tidak bisa bekerja; kerugian sebagai akibat dari kehilangan kapasitas bekerja apabila pekerjaan semula atau profesinya “secara umum” membutuhkan adanya tungkai kanan, serta kerugian immateriel sebagai akibat dari sakit dan penderitaannya. 4
Undang-undang hanya memberi rambu-rambu sebagaimana diuraikan dalam pasal 1370 dan 1371 KUH Perdata, yaitu harus mempertimbangkan kedudukan, kemampuan dan keadaan kedua belah pihak. Penggugat tentu saja akan memperhitungkan kerugian tersebut berdasarkan kedudukan, kemampuan dan keadaan sosial-ekonomi penggugat; yang tentu saja belum tentu sesuai dengan pihak tergugat (dokter). Dalam hal ini tentu akan terjadi semacam tawar-menawar tentang besarnya ganti rugi. Apabila perkara ini diajukan ke pengadilan perdata, maka hakim pada akhirnya akan mengambil keputusan jumlah ganti rugi tersebut, dengan mempertimbangkan kemampuan dan keadaan kedua pihak.4
V. PERANAN REKAM MEDIS
Seorang dokter mungkin saja telah bersikap dan berkomunikasi dengan baik, membuat keputusan medik dengan cemerlang dan/atau telah melakukan tindakan diagnostik dan terapi yang sesuai standar; namun kesemuanya tidak akan memiliki arti dalam pembelaannya apabila tidak ada rekam medis yang baik. Rekam medis yang baik adalah rekam medis yang memuat semua informasi yang dibutuhkan, baik yang diperoleh dari pasien, pemikiran dokter, pemeriksaan dan tindakan dokter, komunikasi antar tenaga medis / kesehatan, informed consent, dll informasi lain yang dapat menjadi bukti di kemudian hari – yang disusun secara berurutan kronologis. Sebuah adagium mengatakan “good record good defence, bad record bad defence, and no record no defence”.1,5
Biasanya kata kunci yang sering digunakan oleh para hakim adalah (1) bahwa kewajiban profesi dokter adalah memberikan layanan dengan tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang normalnya diharapkan akan dimiliki oleh rata-rata dokter pada situasi-kondisi yang sama, (2) bahwa tindakan dokter adalah masih reasonable, dan didukung oleh alasan penalaran yang benar, (3) bahwa dokter harus memperoleh informed consent untuk tindakan diagnostik / terapi yang ia lakukan, dan (4) bahwa dokter harus membuat rekam medis yang baik.1,2,5
Rekam medis dapat digunakan sebagai alat pembuktian adanya kelalaian medis, namun juga dapat digunakan untuk membuktikan bahwa seluruh proses penanganan dan tindakan medis yang dilakukan dokter dan tenaga kesehatan lainnya sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional atau berarti bahwa kelalaian medis tersebut tidak terjadi.5






DAFTAR PUSTAKA
1. Guwandi,J.Dugaan Malpraktek Medik dan Draft RPP : “ Perjanjian Terapetik antara Dokter dan Pasien”.Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2006
2. Sampurna Budi.Kelalaian Medik. [online] 2007 [cited July 8 2008] Available from: http://www.freewebs.com/kelalaianmedik/un
3. Anonymous. Medical negligence. [online] 2007 [cited July 8 2008] Available from: [URL]:http://www.mauriceblackburn.com.au/areas/medical/index.asp
4. Anonymous. Medical negligence and the law. [online] 2004 [cited July 8 2008] Available from: http:/www.issuesinmedicalethics.org/153oa116.html
5. Anonymous. Medical malpractice. [online] 2008 [cited July 8 2008] Available from : http://en.wikipedia.org/wiki/Medical_malpractice
6. Anonymous.Medical negligence. [online] 2008 [cited July 8 2008] Available from : http://www.thompsons.law.co.uk/ltext/l0820001.htm#before_legal_action
7. Anonymous. Medical negligence and professional imdemnity insurance. [online] 2008 [cited July 8 2008] Available from:http://www.parliament.nsw.gov.au/prod/parlment/ publications. nsf / key/ResearchBp2008
8. Moeloek FA, Purwadianto A,Suharto A.Kesehatan Dan Hak Asasi Manusia.Jakarta;Perpustakaan Nasional RI;2003.
9. Undang-undang Kesehatan.Yogyakarta;Pustaka Widyatama;2006 Undang-undang HAM Nomor 9 Tahun 1999.Jakarta;Asa Mandiri;2006
10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.Surabaya;Kesindo Utama;2007
Alergi adalah reaksi seseorang yang menyimpang terhadap kontak atau pajanan zat asing (alergen), dengan akibat timbulnya gejala-gejala klinis. Alergen tersebut untuk kebanyakan orang dengan kontak atau pajanan yang sama tidak menimbulkan reaksi dan tidak menimbulkan penyakit.
Penyakit alergi adalah golongan penyakit dengan ciri peradangan yang timbul akibat reaksi imunologis terhadap lingkungan. Walaupun faktor lingkungan merupakan faktor penting, faktor genetik dalam manifestasi alergi tidak dapat diabaikan. Adanya alergi terhadap suatu alergen tertentu menunjukkan bahwa seseorang pernah terpajan dengan alergen tersebut sebelumnya.

Epidemiologi
Penyakit alergi merupakan kumpulan penyakit yang sering dijumpai di masyarakat. Diperkirakan 10-20 % penduduk pernah atau sedang menderita penyakit tersebut. Alergi dapat menyerang setiap organ tubuh, tetapi organ yang sering terkena adalah saluran napas, kulit dan saluran pencernaan.
Syamsuridjal dan kawan-kawan (1994) melaporkan penyakit alergi yang sering dijumpai di Bagian Penyakit Dalam RSCM Jakarta adalah asma, rinitis, urtikaria dan alergi makanan.

Gejala Klinis Alergi Makanan
Manifestasi alergi makanan pada kulit umumnya bervariasi dari urtikaria akut atau angioedema sampai ruam morbiliformis. Urtikaria kronis jarang disebabkan oleh alergi makanan.
Alergi makanan juga telah dibuktikan merupakan pencetus dermatitis atopik pada sepertiga kasus anak-anak. Dalam waktu 2 jam setelah ingesti makanan tersangka, akan terjadi eritema dan pruritus yang menyebabkan penderita menggaruk, sehinhgga terjadi eksaserbasi dermatitis atopik.
Dermatitis herpetiformis Duhring merupakan hipersensitivitas terhadap makanan yang bermanifestasi sebagai ruam pruritik, dan dihubungkan dengan adanya enteropati sensitif-gluten. Lesi kulit bervariasi dari urtikaria, papul, vesikel sampai bula. Lesi kulit maupun enteropati akan membaik dengan diet eliminasi gluten.

Penatalaksanaan Alergi
Pengobatan kelainan kul;it yang terjadi akibat makanan tidak berbeda dengan pengobatan kelainan kulit akibat penyebab lain yang bukan makanan. Bila diagnosis hipersensitivitas makanan telah ditegakkan, maka alergen penyebab harus dihindari. Diagnosis alergi makanan pada masa anak tidak bersifat menetap seumur hidup, dan dianjurkan untuk melaksanakan evaluasi ulang dengan uji kulit, pemeriksaan RAST atau oral challenge setiap 1-3 tahun. Keadaan ini tidak berlaku untuk dermatitis herpetiformis, sehingga pada penyakit ini penghindaran alergen berlaku seumur hidup.
Sistemik. Antihistamin, misalnya chlorpheniramine, promethazine, hydroxyzine. Kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan, kecuali bila kelainannya luas, atau eksaserbasi akut, dapat diberikan dalam jangka waktu pendek (7-10 hari).
Pengobatan Topikal. Bergantung pada jenis kelainan kulit. Pada bayi kelainan eksudatif, dikompres, misalnya dengan larutan asam salisil 1/ 1000 atau permanganas kalikus 1/ 10.000. setelah kering, dilanjutkan dengan krim hidrokortison 1 % atau 2 %. Pada anak dan dewasa tidak digunakan kompres karena kelainan kulit kering, melainkan salap karena daya penetrasi lebih baik.




DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Kelainan Kulit Akibat Alergi Makanan dalam ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN. Edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI Jakarta. 2002.
2. Tanjung A, Prosedur Diagnostik Penyakit Alergi dalam BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM JILID II. Edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001.
3. Mansjoer A, dkk. Alergi Imunologi dalam KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN JILID I. Edisis ketiga. Media Aescalapius FKUI. Jakarta. 2001.
Karsinoma Tiroid

Karsinoma tiroid adalah suau kanker pada kelenjar tiroid. Ada empat macam yaitu : papiler, folikuler, meduler, dan anaplastik. Bentuk yang paling umum ( papiler dan folikuler) tumbuh secara perlahan dan bisa berulang, namun jenis ini jarang berakibat fatal pada penderita dibawah 45 tahun. Bentuk meduler juga memiliki prognosis yang baik jika hanya mengenai kelenjar tiroid saja dan prognosisnya menjadi buruk jika sudah menyebar; karsinoma tiroid anaplastik tumbuh dengan cepat dan responnya buruk terhadap radioterapi.
Nodul tiroid didiagnosa dengan FNA + USG (USG/FNA) atau seringkali dengan tiroidektomi (operasi pengangkatan disertai pemeriksaan PA). Oleh karena karsinoma tiroid dapat menyerap iodine, iodine radioaktif menjadi modalitas yang sering digunakan dalam penanganan karsinoma tiroid. Bagaimanapun ini diikuti dengan supresi TSH dengan menggunakan terapi thyroxine.

karsinoma tiroidKarsinoma Tiroid Papiler
Perdebatan dalam tiroidekomi total dengan alasan :
 Mudah dimonitor dengan tiroglobulin (lebih sensitif menangkap rekurensi bila dilakukan tiroidektomi total dan ablasi tiroid normal sisa dengan radioiodin 131 setelah mendapat diit rendah iodium [LID] )
 Kemudahan mendeteksi penyakit metastasis akibat tiroid dan USG nodus leher
Karsinoma Tiroid Meduler
Tidak seperti karsinoma tiroid lain, terapi dengan radioiodin tidak terlalu berpengaruh pada jenis meduler. Penyinaran radioterapi eksternal dipertimbangkan untuk pasien resiko tinggi akan rekurensi regional, bahkan setelah penanganan bedah optimum sekalipun. Brierly dkk, menghubungkan suatu studi retrospektif mengenai terapi yang diberikan pada pasien dengan residual mikroskopik, invasi ekstragalndular, atau metastasis ke limfonodus dan ditemukan tingkat free-relaps lokoregional per 10 tahun ada 86%, dibanding dengan 52% pada pasien yang tidak mendapat terapi adjuvant.

Biasanya, diberikan 40 Gy dalam 20 fraksi pada limfonodus servikal, supraklavikular, dan atas mediastinal selama 4 minggu, dengan dosis booster 10 Gy dalam 5 fraksi pada thyroid bed, utamanya pada penanganan tipe residual gross.
Karsinoma Tiroid Anaplastik
Berbeda dari tipe lain, karsinoma tiroid anaplastik tidak dapat disembuhkan dengan bedah atau modalitas lain, dan seringkali pada kenyataannya tidak dapat direseksi karena kecenderungannya untuk menginvasi jaringan sekitarnya. Terapi paliatif terdiri atas radioterapi yang biasanya dikombinasi dengan kemoterapi.
Labels: Health
0 comments:

Post a Comment
Newer Post Older Post
Kelainan sindrom Down terjadi karena kelebihan jumlah kromosom pada kromosom nomor 21, yang seharusnya dua menjadi tiga. Kelainan kromosom itu bukan faktor keturunan. Kelainan bisa menyebabkan penderitanya mengalami kelainan fisik seperti kelainan jantung bawaan, otot-otot melemah (hypotonia), dan retardasi mental akibat hambatan perkembangan kecerdasan dan psikomotor. Hingga kini, penyebab kelainan jumlah kromosom itu masih belum dapat diketahui. 3, 5
Pada penderita Sindrom Down jumlah kromosom 21 tidak sepasang, tetapi 3 buah sehingga jumlah total kromosom menjadi 47. Bila bayi itu beranjak besar, maka perlu pemeriksaan IQ untuk menentukan jenis latihan sekolah yang dipilih. Pemeriksaan lain yang mungkin dibutuhkan adalah pemeriksaan jantung karena pada penderita ini sering mengalami kelainan jantung. 4

A. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI
Kelainan ditemukan diseluruh dunia pada semua suku bangsa. Diperkirakan angka kejadian 1,5 : 1000 kelahiran dan terdapat 10 % diantara penderita retardasi mental. 3
Menurut Biran, sejauh ini diketahui faktor usia ibu hamil mempengaruhi tingkat risiko janin mengidap SD. Usia yang berisiko adalah ibu hamil pada usia lebih dari 35 tahun. Kehamilan pada usia lebih dari 40 tahun, risikonya meningkat 10 kali lipat dibanding pada usia 35 tahun. Sel telur (ovum) semakin menua seiring pertambahan usia perempuan. 3

Sindrom Down B. ETIOLOGI
Sindrom Down banyak dilahirkan oleh ibu berumur tua (resiko tinggi), ibu-ibu di atas 35 tahun harus waspada akan kemungkinan ini. Angka kejadian Sindrom Down meningkat jelas pada wanita yang melahirkan anak setelah berusia 35 tahun ke atas. Sel telur wanita telah dibentuk pada saat wanita tersebut masih dalam kandungan yang akan dimatangkan satu per satu setiap bulan pada saat wanita tersebut akil balik. 2
Pada saat wanita menjadi tua, kondisi sel telur tersebut kadang-kadang menjadi kurang baik dan pada waktu dibuahi oleh sel telur laki-laki, sel benih ini mengalami pembelahan yang kurang sempurna. Penyebab timbulnya kelebihan kromosom 21 bisa pula karena bawaan lahir dari ibu atau bapak yang mempunyai dua buah kromosom 21, tetapi terletak tidak pada tempat yang sebenarnya, misalnya salah satu kromosom 21 tersebut menempel pada kromosom lain sehingga pada waktu pembelahan sel kromosom 21 tersebut tidak membelah dengan sempurna. 4
Faktor yang memegang peranan dalam terjadinya kelainan kromosom adalah:
1. Umur ibu : biasanya pada ibu berumur lebih dari 30 tahun, mungkin karena suatu ketidak seimbangan hormonal. Umur ayah tidak berpengaruh
2. Kelainan kehamilan
3. kelainan endokrin pada ibu : pada usia tua daopat terjadi infertilitas relative, kelainan tiroid. 2

C. PATOFISIOLOGI
Semua individu dengan sindrom down memiliki tiga salinan kromosom 21. sekitar 95% memiliki salinan kromosom 21 saja. Sekitar 1 % individu bersifat mosaic dengan beberapa sel normal. Sekitar 4 % penderita sindrom dowm mengalami translokasi pada kromosom 21. Kebanyakan translokasi yang mengakibatkan sindrom down merupakan gabungan pada sentromer antara kromosom 13, 14, 15. jika suatu translokasi berhasil diidentifikasi, pemeriksaan pada orang tua harus dilakukan untuk mengidentifikasi individu normal dengan resiko tinggi mendapatkan anak abnormal. 1

D. GEJALA KLINIS
Gejala yang biasanya merupakan keluhan utama dari orang tua adalah retardasi mental atau keterbelakangan mental (disebut juga tunagrahita), dengan IQ antara 50-70, tetapi kadang-kadang IQ bias sampai 90 terutama pada kasus-kasus yang diberi latihan. Pada bayi baru ahir, dokter akan menduga adanya Sindrom Down karena gambaran wajah yang khas, tubuhnya yang sangat lentur, biasanya otot-ototnya sangat lemas, sehingga menghambat perkembangan gerak bayi. Pada saat masih bayi tersebut sulit bagi seorang dokter untuk menentukan diagnosisnya, apalagi orang tuanya juga mempunyai mata yang sipit atau kecil. Untuk memastikan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan kromosom dari sel darah putih.4
Anak dengan sindrom down sangat mirip satu dengan satu dengan yang lainnya,seakan akan kakak beradik. Retardasi mental sangat menonjol disamping juga terdapat retardasi jasmani. Kemampuan berfikir dapat digolongkan pada idiot dan imbesil, serta tidak akan mampu melebihi seorang anak yang berumur tujuh tahun. Mereka berbicara dengan kalimat-kalimat yang sederhana, biasanya sangat tertarik pada musik dan kelihatan sangat gembira. Wajah anak sangat khas. Kepala agak kecil dengan daerah oksipital yang mendatar. Mukanya lebar, tulang pipi tinggi, hidung pesek, mata letaknya berjauhan, serta sipit miring ke atas dan samping (seperti mongol). Iris mata menunjukkan bercak-bercak ( bronsfield spots ). Lipatan epikantus jelas sekali. Telinga agak aneh, bibir tebal, dan lidah besar, kasar dan bercelah-celah (scrotal tongue). Pertumbuhan gigi geligi sangat terganggu. 2
Kulit halus dan longgar tetapi warnanya normal. Dileher terdapat lipatan-lipatan yang berlebihan. 2
Pada jari tangan terdapat kelingking yang pendek dan membengkok ke dalam. Pada pemeriksaan radiologis sering ditemukan falang tengah dan distal rudimenter. Jarak antara jari satu dan dua, baik tangan maupun kaki agak besar. Gambaran telapak tangan tampak tidak normal, yaitu terdapat satu garis besar melintang (siniam crease ). 2
Alat kelamin biasanya kecil, otot hipotonik dan pergerakan sendi berlebihan. Kelainan jantung bawaan, seperti defek septum ventrikel sering ditemukan. 7
Penyakit infeksi terutama saluran pernafasan sering mengenai anak dengan kelainan ini. Angka kejadian leukemia tinggi. Pertumbuhan pada masa bayi kadang-kadang baik, tetapi kemudian menjadi lambat. 2

E. DIAGNOSIS
Pada bayi baru lahir, dokter akan menduga adanya Sindrom Down karena gambaran wajah yang khas, tubuhnya yang sangat lentur, biasanya otot-ototnya sangat lemas, sehingga menghambat perkembangan gerak bayi. 4
Diagnosis ditegakkan berdasarkan
1. gejala klinis
2. pemeriksaan tambahan:
a. dermatoglifik
b. pemeriksaan kromosom
3. patologi anatomi.
Otak anak dengan kelainan ini biasanya lebih kecil dari normal dan makin besar anak, pertumbuhan otak makin ketinggalan. 2.6

F. DIAGNOSIS BANDING 2,5

1. Hipotiroidisme
Kadang-kadang sulit dibedakan. Secara kasar dapat dilihat dari aktifitasnya, karena anak-anak denganhipotiroidisme sangat lambat dan malas, sedangkan anak dengan sindrom down sangat aktif
2. akondroplasia
3. rakitis
4. sindrom turner
5. Penyakit trisomi
Penyakit angka kejadian kelainan Keterangan Prognosis
trisomi 21
(sindroma down 1 dari 700 bayi baru lahir kelebihan kromosom 21 perkembangan fisik & mental terganggu, ditemukan berbagai kelainan fisik biasanya bertahan sampai usia 30-40 tahun
trisomi 18
(sindroma edwards) 1 dari 3.000 bayi baru lahir kelebihan kromosom 18 kepala kecil, telinga terletak lebih rendah, celah bibir/celah langit-langit, tidak memiliki ibu jari tangan, clubfeet, diantara jari tangan terdapat selaput, kelainan jantung & kelainan saluran kemih-kelamin jarang bertahan sampai lebih dari beberapa bulan; keterbelakangan mental yg terjadi sangat berat
trisomi 13
(sindroma patau) 1 dari 5.000 bayi baru lahir kelebihan kromosom 13 kelainan otak & mata yg berat, celah bibir/celah langit-langit, kelainan jantung, kelainan saluran kemih-kelamin & kelainan bentuk telinga yg bertahan hidup sampai lebih dari 1 tahun, kurang dari 20%; keterbelakangan mental yg terjadi sangat berat



G. PENANGANAN
Cara medik tidak ada pengobatan pada penderita ini karena cacatnya pada sel benih yang dibawa dari dalam kandungan. Pada saat bayi baru lahir, bila diketahui adanya kelemahan otot, bisa dilakukan latihan otot yang akan membantu mempercepat kemajuan pertumbuhan dan perkembangan anak. Penderita ini bisa dilatih dan dididik menjadi manusia yang mandiri untuk bisa melakukan semua keperluan pribadinya sehari-hari seperti berpakaian dan buang air, walaupun kemajuannya lebih lambat dari anak biasa. 4
H. PROGNOSIS
Biasanya bertahan sampai usia 30-40 tahun. Perkembangan fisik & mental terganggu, ditemukan berbagai kelainan fisik. 5
Kemampuan berfikir dapat digolongkan pada idiot dan biasanya ditemukan kelainan jantung bawaan, seperti defek septum ventrikel yang memperburuk prognosis. 7
I. KOMPLIKASI
Kelainan bisa menyebabkan penderitanya mengalami kelainan fisik seperti kelainan jantung bawaan, otot-otot melemah (hypotonia), dan retardasi mental akibat hambatan perkembangan kecerdasan dan psikomotor. 7
J. PENCEGAHAN
Deteksi dini sindrom Down dilakukan pada usia janin mulai 11 minggu (2,5 bulan) sampai 14 minggu. Dengan demikian, orangtua akan diberi kesempatan memutuskan segala hal terhadap janinnya. Jika memang kehamilan ingin diteruskan, orangtua setidaknya sudah siap secara mental. 3
Para ibu dianjurkan untuk tidak hamil setelah usia 35 tahun. Memang ini merupakan suatu problem tersendiri dengan majunya zaman yang wanita cenderung mengutamakan karier sehingga menunda perkawinan dan atau kehamilan. Sangatlah bijaksana bila informasi ini disampaikan bersama-sama oleh petugas keluarga berencana.4
Berkonsultasilah ke dokter bila seorang pernah mengalami keguguran atau melahirkan anak yang cacat karena mungkin wanita tersebut memerlukan pemeriksaan-pemeriksaan tertentu untuk mencari penyebabnya. Bila sudah terjadi kehamilan pencegahan bisa dilakukan dengan pemeriksaan darah dan atau kromosom dari cairan ketuban atau ari-ari seperti telah disebutkan.4

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Richard E. Kelainan klinik yang mengenai Otosom, dalam : Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Bagian 1. Penerbit buku kedokteran EGC 1994 : 392-394
2. Hasan Rusepno. Husein Alatas. Kelainan kromosom. dalam: Ilmu Kesehatan Anak1. Cetakan ke 8. Bagian Ilmu kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1985: 217-219
3. Kompas Iptek: Deteksi Dini Janin Sindrom Down Tidak harus Mahal, Evailable at:http//www.kompas.co.id/kompas-cetak0305/29/Iptek/337821.htm.
4. Suara Merdeka: Sindrom Down Penyebab Utama Keterbelakangan Mental, Available at: http//www. Suara Merdeka.co.id
5. Sindroma down at: http://www.medicastore.com/
6. Usia 30 Tahun keatas beresiko tinggi lahirkan Sinrom Down. Available at:http//www.gatra.com/versi-cetak.38345htm.
7. Down Sydrome survival Rate Increasing; Racial Disparitas Exist In a Large Metropolitan Area. Available at:http//www.cdc.gove/od/oc/media/pressrel.
Protrusi Diskus Intervertebralis

10:43 PM Posted by Irga
Protrusi diskus intervertebralis atau biasa disebut hernia nukleus pulposus (HNP) adalah suatu keadaan dimana terjadi penonjolan nukleus pulposus kearah posterior akibat degenerasi annulus fibrous pada diskus intervertebralis. Akibat dari penonjolan ini terjadi penekanan pada radiks saraf dan medulla spinalis yang dapat menyebabkan timbulnya gejala neurologis.
Herniasi diskus intervertebralis atau hernia nukleus pulposus sering terjadi pada pria dan wanita dewasa dengan insiden puncak pada dekade ke 4 dan ke 5. Kelainan ini banyak terjadi pada individu dengan pekerjaan yang banyak membungkuk dan mengangkat. HNP pada daerah lumbal lebih sering terjadi pada usia sekitar 40 tahun dan lebih banyak pada wanita dibanding pria. HNP servikal lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun. HNP torakal lebih sering pada usia 50-60 tahun dan angka kejadian pada wanita dan pria sama .
Hampir 80% dari HNP terjadi di daerah lumbal. Sebagian besar HNP terjadi pada diskus L4-L5 dan L5-S1. Sedangkan HNP servikal hanya sekitar 20% dari insiden HNP. HNP servikal paling sering terjadi pada diskus C6-C7, C5-C6, C4-C5. Selain pada daerah servikal dan lumbal, HNP juga dapat terjadi pada daerah torakal namun sangat jarang ditemukan. Lokasi paling sering dari HNP torakal adalah diskus T9-T10, T10-T11, T11-T12. Karena ligamentum longitudinalis posterior pada daerah lumbal lebih kuat pada bagian tengahnya, maka protrusi diskus cenderung terjadi ke arah posterolateral, dengan kompresi radiks saraf 1.


ANATOMI
Tulang punggung atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang membentuk punggung yang mudah digerakkan. Terdapat 33 tulang punggung pada manusia, 5 di antaranya bergabung membentuk bagian sacral, dan 4 tulang membentuk tulang ekor (coccyx). Tiga bagian di atasnya terdiri dari 24 tulang yang dibagi menjadi 7 tulang cervical (leher), 12 tulang thoraks, dan 5 tulang lumbal 3.
Columna vertebralis terdiri dari serangkaian sendi di antara korpus vertebra yang berdekatan, sendi lengkung vertebra, sendi costovertebra, dan sendi sacroiliaca. Ligamentum longitudinale dan discus intervertebra menyatukan korpus-korpus vertebra yang berdekatan. Ligamentum longitudinale anterior, suatu jaringan ikat berbentuk pita yang lebar dan tebal, berjalan secara longitudinal di depan korpus vertebra dan discus interverebra serta berfusi dengan periosteum dan annulus fibrosus. Di dalam kanalis vertebralis di aspek posterior korpus vertebra dan discus intervertebra terletak ligamentum longitudinale posterior.
Di antara dua korpus vertebra yang berdekatan, dari vertebra servikalis II (C2) sampai ke vertebra sakralis, terdapat diskus intervertebra. Diskus ini membentuk suatu sendi fibrokartilaginosa yang tangguh antara korpus vertebra. Diskus intervertebra terdiri dari dua bagian utama yaitu nukleus pulposus di bagian tengah dan anulus fibrosus yang mengelilinginya. Diskus dipisahkan dari tulang di atas dan di bawah oleh dua lempeng tulang rawan hialin yang tipis.
Nukleus pulposus adalah bagian sentral semigelatinosa diskus; struktur ini mengandung berkas-berkas serat kolagenosa, sel jaringan ikat, dan sel tulang rawan. Bahan ini berfungsi sebagai peredam kejut (shock absorber) antara korpus vertebra yang berdekatan, dan juga berperan penting dalam pertukaran cairan antara diskus dan kapiler.
Anulus fibrosis terdiri dari cincin-cincin fibrosa konsentris, yang mengelilingi nukleus pulposus. Fungsi anulus fibrosis adalah agar dapat terjadi gerakan antara korpus-korpus vertebra (karena struktur serat yang seperti spiral), menahan nukleus pulposus, dan sebagai peredam kejut. Dengan demikian, anulus fibrosus berfungsi serupa dengan simpai di sekitar tong air atau sebagai pegas kumparan, menarik korpus vertebra agar menyatu melawan resistensi elastik nukleus pulposus, sedangkan nukleus pulposus berfungsi bantalan peluru antara dua korpus vertebra 5.

ETIOLOGI
HNP umumnya dihubungkan dengan trauma mendadak atau menahun sehingga anulus fibrosus terutama bagian posterolateral robek secara sirkumferensial dan radial disertai robekan di bagian lateral ligamentum longitudinal posterior. Riwayat trauma berupa mengangkat beban dan membungkuk, gerakan tubuh tertentu secara tiba-tiba, gerakan berputar, mengejan, trauma langsung daerah lumbal atau pada 50% kasus tidak didapatkan trauma 6.

PATOFISIOLOGI
Penyebab protrusi diskus lumbalis biasanya merupakan suatu cedera fleksi, dengan proporsi yang layak pada pasien dengan riwayat trauma negatif. Degenerasi nukleus pulposus, ligamentum longitudinal posterior, dan anulus fibrosis mungkin terjadi tanpa gejala atau bermanifestasi ringan berupa nyeri lumbal berulang 7.

Regio lumbalis merupakan bagian yang tersering mengalami herniasi nukleus pulposus. Kandungan air diskus berkurang seiring bertambahnya usia (dari 90% pada masa bayi menjadi 70% pada lanjut usia). Selain itu, serat-serat menjadi lebih kasar dan mengalami hyalinisasi, yang ikut berperan menimbulkan perubahan yang menyebabkan herniasi nukleus pulposus melalui anulus disertai penekanan akar saraf spinalis. Umumnya herniasi paling besar kemungkinannya terjadi di daerah kolumna vertebralis tempat terjadinya transisi dari segmen yang lebih banyak bergerak ke segmen yang kurang bergerak (hubungan lumbosakral dan servikotorakalis).

Menurut tingkatannya hernia nukleus pulposus (HNP) dapat dibagi atas:
1. Disc degeneration
Nukleus terlihat menonjol ke satu arah tanpa kerusakan annulus fibrous, belum terlihat herniasi
2. Prolapsed intervertebral disc (protrusion)
Nukleus berpindah, tetapi masih dalam lingkaran annulus fibrous
3. Extrudded intervertebral disc
Nukleus keluar dari annulus fibrous dan berada di bawah ligamentum longitudinale posterior
4. Sequestrated intervertebral disc
Nukleus telah menembus ligamentum longitudinale posterior

Sebagian besar herniasi terjadi di daerah lumbal di antar ruang lumbal IV ke V (L4 ke L5) atau lumbal V ke sakral I (L5 ke S1). Arah tersering herniasi bahan nukleus pulposus adalah posterolateral. Karena akar saraf di daerah lumbal miring ke bawah sewaktu keluar melalui foramen saraf, herniasi diskus antara L5 dan S1 lebih mempengaruhi akar saraf S1 daripada L5 seperti yang diperhitungkan. Herniasi diskus antara L4 dan L5 menekan akar saraf L5.
Herniasi diskus servikalis, walaupun lebih jarang bila dibandingkan dengan herniasi diskus lumbalis, biasanya mengenai satu dari tiga akar sevikalis bawah. Herniasi diskus servikalis berpotensi menimbulkan kelainan serius, dan dapat terjadi kompresi medula spinalis, bergantung pada arah penonjolan. Herniasi lateral diskus servikalis biasanya menekan akar di bawah ketinggian diskus. Dengan demikian, diskus C5 ke C6 menekan akar saraf C6, dan diskus C6 ke C7 mengenai akar C7.
Pasien umumnya menceritakan riwayat serangan-serangan nyeri transien dan berkurangnya mobilitas tulang belakang secara bertahap. Walaupun pasien cenderung mengaitkan masalahnya dengan kejadian mengangkat barang atau membungkuk 7,8.

DIAGNOSIS
a. Gambaran Klinik
Secara umum gambaran klinik yang paling sering muncul adalah nyeri yang sifatnya menjalar sepanjang serabut saraf yang tertekan disertai parestesia atau hipestesia. Gambaran klinis HNP bergantung pada lokasi herniasi dan variasi anatomi individual. Untuk lebih jelasnya, ringkasan gejala yang paling sering dijumpai pada setiap lokasi HNP dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Lokasi Herniasi Radiks saraf yang terkena Nyeri Kelemahan Parestesia Atrofi Refleks
L4-L5 L5 Di atas sendi sakroiliaka, panggul, lateral paha dan betis media kaki (nyeri yang menjalar turun dari panggul dan tungkai disebut ischialgia) Dapat mengakibatkan foot drop dan kesukaran melakukan dorsofleksi kaki dan/atau ibu jari kaki; kesukaran berjalan pada tumit Lateral tungkai bagian distal kaki dan antara ibu jari dengan jari tengah kaki (lihat peta dermatom) Tidak jelas Biasanya tidak nyata; refleks lutut atau pergelangan kaki dapat menghilang
L5-S1 S1 Di atas sendi sakroiliaka, bagian posterior dari seluruh tungkai sampai tumit bagian lateral kaki Bisa menimbulkan kelemahan plantar fleksi, abduksi jari kaki dan otot Hamstring; sulit berjalan pada ujung jari Pertengahan betis dan lateral kaki, termasuk jari kaki keempat dan kelima gastroknaemius Refleks pergelangan kaki dapat menurun
C5-C6 C6 Nyeri leher menjalar ke bahu, lengan dan lengan bawah Biceps Bagian radius dari lengan bawah, ibu jari dan telunjuk Tidak nyata Refleks biceps hilang atau menurun
(dikutip dari kepustakaan 5)

b. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Diagnosis herniasi diskus intervertebralis sering dibuat hanya berdasarkan anamnesis dan dapat dikonfirmasikan saat pemeriksaan fisik. Penderita biasa datang ke klinik dengan memberikan keluhan nyeri yang bersifat menjalar tergantung dari lokasinya. Nyeri ini dapat menjadi lebih berat apabila pasien batuk. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat episode nyeri dan hilangnya mobilitas tulang yang berlangsung perlahan-lahan .1,5

c. Gambaran Radiologi
Radiografi mungkin normal atau memperlihatkan tanda-tanda distorsi susunan tulang belakang (umumnya disebabkan oleh spasme otot); radiografi juga bermanfaat untuk menyingkirkan kausa lain nyeri punggung, misalnya spondilolistesis (selipnya ke arah depan bagian anterior suatu segmen vertebra dari segmen di bawahnya, biasanya di L4 atau L5), tumor medula spinalis, atau tonjolan tulang.

 Foto polos
Pada penderita HNP, yang terjadi adalah nukleusnya mengalami herniasi ke kanalis vertebralis sehingga akan tampak gambaran penyempitan diskus intervertebralis.
 CT mielogram atau MRI
Pemeriksaan ini akan memperlihatkan kompresi kanalis servikalis oleh diskus yang mengalami herniasi dan mielogram CT akan menentukan ukuran dan lokasi herniasi diskus.
 Dapat dilakukan pemeriksaan elektromiogram (EMG) untuk menentukan secara pasti akar saraf yang terkena. Juga dapat dilakukan uji kecepatan hantaran saraf .
 CT Scan
Pada daerah lumbal diperoleh gambaran penekanan pada daerah anterior epidural dan herniasi jaringan lunak pada daerah lateral dan posterolateral yang menyebabkan serabut saraf tak terlihat.5
Tanda dan gejala HNP berkaitan dengan ukuran dan lokasi bagian yang menonjol. Protrusi lateral yang terbatas pada satu interspace memberikan tanda cedera pada satu serabut saraf. Protrusi pada garis tengah diskus regio lubalis dapat menyebabkan kompresi pada satu serabut saraf, serabut pada kedua sisi di satu segmen atau seluruh serabut pada cauda equina. Hal yang khas namun tidak selalu ada yaitu gejala ruptur diskus intervertebral yang berulang. Biasa ditemukan pasien yang memiliki riwayat gejala serangan sebelumnya berulang dua kali atau lebih yang menghilang dalam beberapa minggu atau bulan 8.
Diagnosa struktur diskus intervertebralis ditegakkan berdasarkan hasil pengamatan gejala dan tanda yang khas dari sciatica. Bila lesinya terjadi pada regio lumbal dan dari tanda dan gejala kompressi serabut atau nukleus saraf bila terjadi ruptur pada regio torakal atau servikal. Riwayat trauma sebelumnya ditemukan pada lebih dari setengah kasus dan terdapat suatu kecenderungan akan remisi dan relaps gejala setelah beberapa waktu atau beberapa tahun. Temuan pada pemeriksaan radiologi pada medulla spinalis adalah bermakna, namun tidak selamanya bernilai diagnostik. Mungkin akan ditemukan hilangnya curvatura normal, skoliosis, perubahan artritik, penyempitan intervertebral space dan regio servikal penyempitan foramen intervertebral pada tampakan oblik. Kandungan protein cairan serebrospinal biasanya meningkat namun bisa juga normal. Nilai antara 50 mg-75 mg per 100 cc sering diteukan pada herniasi lumbal. Nilai diatas 100 mg jarang terjadi kecuali pada kasus dengan blok pada sub araknoid. Blok sub arakhnoid tidak ditemukan pada ruptur regio lumbal di bawah titik penusukan, namun blok subarakhnoid parsial atau komplit sering terjadi ekstrusi pada regio torakal atau servikal. 8

DIAGNOSIS BANDING
Hernia nukleus pulposus bisa didiagnosis banding dengan beberapa penyakit yang juga mengenai susunan tulang belakang seperti spondilosis dan spondilitis.
HNP Spondilosis Spondilitis ankilosing
Gejala klinis Nyeri radikuler, hilangnya sensibilitas, atrofi, kelemahan Nyeri radikuler, hilangnya sensibilitas, spasme otot, kekakuan Nyeri radikuler yang membaik bila berolahraga dan memberat bila berolahraga, kekakuan pada pagi hari
Lokasi tersering lumbal Lumbal dan servikal Lumbal dan torakal
Umur 20-60 tahun <45>pria Wanita>pria Pria>wanita
Gambaran radiologi Penyempitan diskus Penyempitan diskus disertai osteofit Penyempitan diskus, pada tahap akhir akan timbul kalsifikasi diskus dan ligamen, sindesmofit(bamboo spine)
(dikutip dari kepustakaan 5, 11)
TERAPI
Terapi utama bagi herniasi diskus adalah tirah baring singkat di atas kasur yang keras dan datar serta OAINS untuk nyeri diikuti oleh terapi fisik. Dengan regimen ini, lebih dari 90% pasien akan pulih dan kembali menjalankan aktivitas secara normal. Sebagian pasien mungkin memerlukan terapi lebih lanjut, yang mungkin mencakup pembedahan.
Bagi pasien dengan herniasi akut diskus lumbal akibat suatu trauma (misalnya, mengangkat benda berat) yang diikuti oleh nyeri hebat di punggung dan tungkai, terapinya adalah analgetik narkotik dan OAINS. Tirah baring bekepanjangan tidak dianjurkan karena menimbulkan efek merugikan baik secara fisik maupun psikologis. Bagi pasien yang tidak mampu melakukan terapi fisik karena nyeri, suntikan kortikosteroid ke daerah herniasi dapat sangat membantu mengendalikan nyeri selama beberapa bulan. Bagi pasien dengan herniasi servikalis, maka collar servikalis yang lunak membantu mengurangi nyeri dan spasme otot dengan membatasi gerakan leher. Kadang-kadang diperlukan kerah yang kaku untuk menghilangkan beban pada vertebra servikalis pada pasien dengan nyeri dan spasme otot yang hebat.
Apabila nyeri punggung sudah mereda, pasien sebaiknya memulai program olahraga bertahap untuk memperkuat otot punggung dan abdomen. Pasien perlu membatasi tindakan mengangkat barang berat serta menggunakan mekanika tubuh secara benar. Teknik-teknik yang benar antara lain adalah menjaga agar tulang belakang tetap tegak, menekuk lutut, dan menjaga berat tetap dekat dengan tubuh untuk menggunakan otot-otot tungkai yang kuat dan menghindari pemakaian otot-otot punggung 5.
Tindakan operasi diindikasikan segera apabila ditemukan tanda-tanda kompresi serabut saraf. Jika tidak maka harus dilakukan metode atau terapi yang lebih konservatif. Gagalnya tindakan konservatif , yang tidak terkait dengan nyeri, ada kelanjutan tanda-tanda kompresi serabut saraf atau kelemahan otot yang berat merupakan indikasi operasi 4.
Untuk gangguan pada diskus intervertebralis terdapat beberapa macam terapi. Yang termasuk sebagai tindakan konservatif yaitu istirahat (tirah baring), traksi, fisioterapi, dan titik picu (injeksi anestesi lokal) 7.
Pembedahan merupakan pilihan terakhir bagi pasien yang mengalami nyeri rekalsitran persisten atau sering mengalami serangan nyeri walaupun sudah mendapat terapi konservatif atau memperlihatkan suatu defisit neurologis besar, misalnya kelemahan motorik progresif akibat cedera akar saraf atau inkontinensia urin atau alvi. Prosedur yang biasa dilakukan adalah hemilaminektomi parsial dengan eksisi diskus antarvertebra yang mengalami prolaps. Dapat dilakukan fusi spinal apabila terdapat instabilitas mekanis tulang. Prosedur bedah lainnya adalah diskektomi bedah mikro (pengeluaran fragmen-fragmen diskus melalui sebuah insisi yang sangat kecil), dan kemonukleolisis. Yang terakhir berupa penyuntikan kemopapain (suatu enzim dari pohon pepaya) ke dalam diskus yang mengalami herniasi. Kemopapain menyebabkan hidrolisis protein, sehingga kapasitas protein mengikat air di nukleus pulposus berkurang. Enzim hanya menyerang nukleus pulposus dan tidak anulus fibrosus. Terapi ini meredakan tekanan pada akar saraf, secara efektif menghilangkan nyeri, dan bagi pasien merupakan alternatif terhadap laminektomi. Berbagai riset untuk mengembangkan pengganti nukleus pulposus yang biocompatible memberikan harapan akan membaiknya terapi penyakit-penyakit degeneratif herniasi diskus 5.

Ozonetherapy
Untuk menghindari gejala ini perlu dilakukan suatu pemeriksaan yang mungkin akan cukup melelahkan dan mengevaluasi setiap jenis terapi yang tidak melibatkan intervensi bedah misalnya dengan ozonetherapy. Cara kerjanya yaitu :
1. Ozon mengakibatkan terjadinya oksidasi pada mukopolisakarida yakni unsur pembentuk nukleus pulposus (tempat terjadinya hernia), memecah struktur air dan meningkatkan metabolisme sel di sekitar hernia. Dalam hal ini, hernia menurunkan volume nukleus pulposus dan menyebabkan pembentukan sikatrik.
2. Ozone memiliki efek analgesik terhadap serabut saraf vertebra.
3. Ozon meningkatkan aliran darah pada pleksus venosus yang terjadi apabila terdapat iritasi dan kompresi muskular, ini merupakan suatu efek anti-inflamasi.
Jumlah session-nya relatif berbeda, namun biasanya berkisar antara12 hingga 15 kali, meski kadang pada kasus tertentu dapat mencapai 30 kali. Ozonetherapy merupakan tindakan terapi yang efektif dibanding operasi dan tindakan konvensional lain jika dilaksanakan dengan tepat. Ozonetherapy diindikasikan untuk hernia diskus pada tiap lokasi 10.
Perbaikan terjadi pada 80% pasien dengan terapi konservatif. Diberikan informasi yang tepat dan jelas serta edukasi terhadap pasien. Hindari aktifitas berat yang bisa menyebabkan nyeri, tetapi secepatnya harus kembali kepada aktifitas normal. Pada fase akut diperlukan tirah baring beberapa hari. Terbukti istirahat selama satu minggu sudah mencukupi. Tirah baring posisi semi Fowler, panggul dan lutut fleksi untuk mengurangi tekanan intra diskus, dan ketegangan radiks saraf. Istirahat diikuti dengan mobilisasi bertahap. Mula-mula dianjurkan berjalan tetapi jangan duduk.
Terapi farmakologik dengan analgesik, OAINS, opioid bila nyeri berat untuk beberapa hari dan relaksan otot. Injeksi epidural (steroid, lidokain, opioid) pada nyeri radikuler walau masih kontroversial. Untuk mengatasi nyeri neuropatik (radikulopati) dapat diberikan antikonvulsan dan antidepresan. Tindakan bedah hanya dilakukan bila tindakan konservatif yang adekuat gagal 6.

PROGNOSIS
Siatika dapat berulang. Selama tidak menyebabkan hendaya dan dapat ditoleransi, cukup terapi konservatif saja. Bila frekuensi dan intensitas serangan menghambat aktifitas harian dan pekerjaan dapat dipertimbangkan tindakan bedah. Kasus-kasus yang memerlukan pembedahan biasanya hanya memperbaiki gejala-gejala penekanan radiks saja tanpa mengurangi nyeri punggung 6.